“Tolong, Jalmo. Aku belum ingin gila.”
“Panggil aku Jay.”
“Hentikan semua ini, Jay.”
“Hentikan apa, Aya?”
“Semua ini.”
****
Jalmo memarkir motornya. Halaman depan Lawangsewu tak lagi semenyeramkan
kata orang. Remang. Motor berwarna merah itu bergeming di keremangan. Namun,
cahaya di sana cukup terang untuk Aya bercermin di kaca spion. Kekasih Jalmo
yang rambutnya sebahu itu seakan ingin memastikan diri bahwa dia cukup cantik
untuk menyeberang. Ya, tujuan Jalmo dan Aya bukanlah Lawangsewu. Tapi, Tugu
Muda. Dan dari Lawangsewu ke Tugu Muda, mereka harus menyeberangi jalanan yang
ramai.
“Tapi kau suka aku cantik, bukan?” ketus Aya, masih dengan mata ke kaca
spion, masih dengan jari-jari tangan menyisir rambutnya. Jalmo bergeming.
Tangan Jalmo menyambar tangan Aya. Mereka menyeberang. Tugu Muda tak lagi
menjadi monumen perjuangan andalan warga kota Semarang. Tugu Muda sekarang
menjadi monumen keemasan, terkena lampu-lampu jalan, tempat muda-mudi
berperang. Muda-mudi yang saling melempar bualan. Siapa yang tersenyum dulu
menang, siapa yang marah dulu menang. Cinta memang membuat bualan menjadi
pemenang, siapapun yang memainkan akan menjadi pecundang. Seperti Jalmo dan
Aya.
“Duduk di sini saja.” kata Jalmo.
“Rumput ini basah,”
“Pakai sandalku sebagai alas,”
“Mengapa tak duduk di tempat lain?”
“Lihatlah, tidak ada tempat lain.”
Memang. Taman di sekitar Tugu Muda penuh dengan pasangan muda-mudi. Ada
yang duduk berdua-duaan. Ada beberapa yang bergerombol, lebih dari dua. Ah,
mereka itu siapa? Mereka itu hanya figuran, paling tidak pikiran seperti ini
yang melintas di kepala Jalmo. Malam ini, Jalmo dan Aya tokoh utama cerita.
Cerita tentang pencarian tempat duduk. Tempat mereka akan saling melempar
bualan. “Baiklah, di sini saja.” Akhirnya Aya duduk di rumput basah. Sandal
Jalmo pun menempel di bokong Aya. Jalmo duduk tanpa alas. Bokongnya dingin. Namun,
Jalmo sadar benar, dari dulu laki-laki harus lebih sering mengalah. Sialnya
jadi laki-laki, pikir Jalmo.
“Aku haus,” kata Aya.
“Es teh?”
“Aku pengen Fanta, yang merah.”
“Es teh saja, yang murah.”
“Yang jual es teh jauh, fanta lebih dekat. Lagian juga… “
“Lagian apa?”
“Warna merah itu akan menempel di bibirku. Bibir merah membuatku merasa
makin cantik.”
“Tak perlu menjadi cantik jika hanya ingin menghilangkan haus.”
“Tapi kau suka jika aku cantik, bukan?”
Jalmo mendesah, lalu mengangkat tubuhnya. Dari bersila, kini berdiri dan
bersiap berjalan. Beberapa saat kemudian, Jalmo kembali dengan sekaleng Fanta
di tangan kirinya, sebatang rokok yang sudah disulut di tangan kanannya.
Disodorkan kaleng itu ke Aya, masih dengan tangan kirinya. Sembari mendongak ke
arah Jalmo, memandang dengan sinis. Aya membuka kaleng itu, lalu meneguknya.
“Kenapa tangan kiri?”
“Kenapa?”
“Tidak sopan.”
“Ah, yang penting sampai di tanganmu tidak tumpah, kan?”
And now, the end is near…
So I face the final curtain…
Tiba-tiba terdengar suara, lagu tepatnya. Jalmo yang masih berdiri terhenyak.
Aya kaget. Sontak berdiri. Kaleng di tangannya terjatuh, tumpah. Kerasnya
seperti ada yang sedang pesta kawinan. Namun, lagu itu tak rampung. Hanya suara
keras yang tiba-tiba terdengar, lalu tiba-tiba berhenti pula. Tepat di baris
kedua lagu itu. Suara itu sangat nyata. Lagu itu terdengar begitu dekat. Namun
entah darimana. Jalmo dan Aya celingukan. Lalu menatap satu sama lain.
“Frank Sinatra?” Aya memandang Jalmo tepat di matanya, bertanya-tanya.
“My Way.”
“Darimana?”
“Entahlah.”
Mereka berdua masih kebingungan. Memandang keliling. Tak ada yang aneh.
Lawangsewu masih remang, masih menampakkan sisa-sisa aura mistis. Jalanan yang
tadi mereka seberangi juga masih ramai. Tugu Muda masih keemasan. Tak ada yang
berubah. Muda-mudi masih berperang, saling melontarkan bualan. Beberapa dari
mereka bahkan seperti sudah kehabisan tenaga, bersandaran satu sama lain. Semua
nampak biasa-biasa saja. Jalmo dan Aya masih berdiri, saling menatap. Kebingungan.
Bagaimana bisa suara semengagetkan tadi tak membuat perubahan apapun? Mereka
berpelukan, lalu pelan-pelan duduk. Aya duduk di sandal Jalmo. Bokong Jalmo
makin dingin. Ada Fanta yang tumpah di sana.
Aya memeluk Jalmo erat. Jalmo melingkarkan tangannya di pinggang Aya.
Tubuh mereka berdua saling menyandar. Sekilas mereka berdua nampak seperti
muda-mudi di sana. Yang lama berperang melontarkan bualan, yang kelelahan lalu
saling menyandarkan tubuh. Namun, Jalmo dan Aya berbeda. Jalmo dan Aya
melakukan semua itu seperti tidak dengan pikiran. Pikiran mereka sedang
mengelana. Dari mana datangnya suara tadi? Seperti dalam film, Jalmo dan Aya
kebingungan. Tidak mendapatkan gambaran apa yang sedang terjadi. Sedang yang
lain, yang di sekitar mereka, menjalani yang mereka lakukan seperti tak terjadi
apa-apa. Seperti Jalmo dan Aya adalah tokoh utama, yang lain hanya menjadi
latarnya. Jalmo dan Aya kembali berpandangan. Mereka masih penasaran.
“Kamu mendengarnya, bukan?”
“Ya. Keras sekali.”
And now, the end is near…
So I face the final curtain…
Suara itu terdengar lagi. Potongan lagu Frank Sinatra berjudul My Way
mengagetkan sekali lagi. Aya mempererat pelukannya. Jalmo melempar pandangannya
ke sekeliling. Semua seperti tak mendengar.
“Aku takut,” Aya menyibakkan poninya ke samping. Memandang Jalmo.
“Tak perlu mempercantik diri jika hanya ingin merasa takut.”
“Mengapa kau mengatakannya?”
“Tidak tahu.”
“Tapi, kau suka saat aku cantik, bukan?”
“Siapa bilang?”
“Tidak tahu.”
Jalmo dan Aya diam. Mereka saling berpandangan. Ketakutan. Kebingungan.
Bagaimana sebuah suara sekeras itu tak membuat seorangpun—selain
mereka—bergerak? Semua orang di sekitar Jalmo dan Aya memang bergerak, mereka
bukan patung. Namun, suara keras itu, apakah tidak cukup mengerikan dan
mengagetkan? Janggal.
Peristiwa tak menyenangkan yang dialami sepasang muda-mudi kerapkali
makin mendekatkan mereka. Aya baru sekali ini merasakan pelukan Jalmo begitu
erat. Seperti ingin menjaganya. Jalmo pun begitu. Entah apa yang membuatnya
merasa harus melindungi Aya. Naluri mungkin. Bisa jadi seperti itu. Bisa jadi
Jalmo juga perlu sesuatu ada di sampingnya. Sesuatu yang bisa saling berbagi
kegelisahan ketika peristiwa-peristiwa aneh terjadi. Sesuatu yang bisa saling
berbagi kegelisahan ketika mendengar Frank Sinatra menyanyi My Way.
Sialnya sebagai laki-laki. Laki-laki tak boleh merasa takut. Konon,
laki-laki mesti lebih sering memakai logika daripada perasaan. Apa yang logis
dari Frank Sinatra bernyanyi My Way di Tugu Muda ketika malam minggu? Tak ada,
pikir Jalmo. Dia harus menenangkan diri—menenangkan Aya juga, pikir Jalmo.
“Kau ingat film A Beautiful Mind?”
“Iya, aktor yang bermain di Gladiator.”
“Russell Crowe.”
“Ada apa dengan film itu?”
“Di akhir film, ketika John Nash duduk menunggu perhitungan suara
penerimaan Nobel, kau ingat apa yang dia katakan?” Jalmo berbicara. Tangan
kirinya bergerak ke mulut. Rokok dia hisap. Kapan rokok ini pindah ke tangan
kiri, tanya Jalmo dalam kepalanya. Kejanggalan lagi. Usaha menenangkan diri
makin keras, tanpa mengubah mimik wajah. Tanpa membuat Aya makin panik.
“Oh, apa yang Russell Crowe katakan?”
“Aku melihat sesuatu yang tidak ada. Tapi, aku mencoba mengabaikannya.
Semacam diet pikiran, kita memilih apa yang kita pikirkan dan apa yang tidak
kita pikirkan.”
“Jadi, tak perlu bingung?”
“Ya, itu hanya suara.”
“Ya, itu hanya suara.” Aya menekan bibir bawahnya setelah mengatakan itu.
Entah apa maksudnya. Aya menjadi lebih mirip model iklan kondom di televisi
yang berlagak sensual daripada kekasih Jalmo. Aya bingung. Jalmo lebih bingung.
“Jika hanya ingin berkata ‘Ya, itu hanya suara.’ tak perlu berlagak
cantik seperti itu.”
“Aku tidak berniat melakukannya. Berhentilah mengatakan itu.”
“Tapi kau melakukannya. Dan aku tak tahu mengapa aku terus mengatakan
itu.”
“Tapi, kau suka saat aku cantik, bukan?”
Kembali, mereka saling pandang. Kebingungan.
“Tolong, Jalmo. Aku belum ingin gila.”
“Panggil aku Jay.”
“Hentikan semua ini, Jay.”
“Hentikan apa, Aya?”
“Semua ini.”
“Bukan aku, Aya. Bukan aku.”
***
And now, the end is near…
So I face the final curtain…
Jari-jari itu berhenti di atas keyboard laptop. Seorang laki-laki
berkacamata, berwajah kuyu, mengambil ponselnya yang berbunyi. Ada sms lagi.
Kali ini, dia berharap sms yang mengganggunya itu tidak datang dari operator,
seperti dua yang sebelumnya.
Mandi-mandi. Nanti jadi ke
tempatku, Mas? Beruntung, pikir laki-laki itu. Sms kali ini datang dari
gadis yang dia dekati. Jadi, tapi setelah
aku menyelesaikan cerpenku. Balas laki-laki itu.
Agustus 2011.
No Response to "Bukan Aku, Aya"
Posting Komentar