Menggenang


“Maaf.”
“Tak apa.”
“Sakit?”
“Apanya?”
“Aku menarik tanganku ketika kau ingin memegangnya.”
“Tidak, kau bahkan tidak menyentuhku.”
“Kopimu juga belum kau sentuh.”
“Kopi di café ini lebih nikmat jika hangat. Ini masih panas.”
“Aku suka coklat di sini. Entah panas atau hangat.”
“Kau suka aku?”
“Kau laki-laki yang baik. Sulit untuk seseorang tidak suka padamu.”
“Ayolah. Kau tahu maksudku.”
“Iya, aku tahu. Tidak, kupikir. Atau belum. Kadang-kadang aku ingin jatuh cinta padamu.”
“Dan aku selalu.”
“Ayolah, Jalmo. Berhentilah bermain-main denganku. Aku mengenalmu delapan tahun, dan aku tahu semua tentang cara-caramu menggoda perempuan-perempuan itu. Haha, salah sendiri kau sering bercerita padaku. Kau seperti telanjang di depanku, dan sekarang kau bilang seperti itu, aku jadi ingin menertawakanmu.”
“Bicaramu panjang.”
“Seperti kamu yang suka bertele-tele.”
“Katamu aku laki-laki yang baik, mengapa kau bilang seperti itu?”
“Dan aku bilang bertele-tele bukan hal yang buruk. Hanya memakan lebih banyak waktu dan membuat bosan.”
“Kenapa kau tak makan?”
“Aku tidak lapar. Tidak, tidak. Aku lapar tapi tidak ingin makan.”
“Kau sudah jatuh cinta padaku dan kau tidak ingin mengatakannya?”
“Kau ini bicara apa?”
“Apa pun tidak penting, aku suka bicara denganmu.”
“Sudah kubilang tak usah bermain-main denganku. Sifatmu itu membuatku sedikit bosan, walau banyak sifat lain yang membuatku nyaman. Kau sudah berhenti merokok?”
“Kau mestinya percaya padaku, kopi ini lebih nikmat ketika hangat. Setelah menghirup yang seperti ini, rokok akan terasa lima kali lebih nikmat. Kau tak apa aku merokok? Bukankah dia benci bau rokok. Bagaimana jika nanti kau pulang dengan bau rokok di pakaianmu? ”
“Ah, seperti biasanya saja. Hanya ada hal yang tak terduga. Dua tahun tak bertemu dan kau tiba-tiba meneleponku. Nongkrong katamu. Beruntung kau, suamiku mengijinkan.”



“Sebelumnya aku sudah meneleponnya, mengajaknya nongkrong. Mumpung aku kembali ke kota ini. Dia bilang dia sedang lembur di kantor dan dia malah menyuruhku meneleponmu. Katanya, kau sering merasa bosan di rumah. Haha.”
“Dasar! Kalian berdua memang berkomplot. Dia itu suami yang tidak bertanggung jawab, sudah tahu istri hamil muda malah ditawarkan untuk menemani lelaki lain. Haha.”
“Apa? Kau hamil?”
“Iya, tepat 4 minggu dua hari lagi.”
“Mungkin dia tahu kau bisa menjaga diri. Tapi ini kehamilan pertama, bukan? Biasanya suami lebay menjaga kehamilan pertama istrinya. Aneh.”
“Nada bicaramu juga aneh. Kehamilanku membuatmu gugup? Setahuku kau tidak pernah membuang rokok yang masih panjang. Kebiasanmu ternyata berubah. Haha.”
“Diamlah. Kita harus segera pulang. Sudah malam.”
“Kau memang sudah berubah. Pukul sepuluh kau bilang malam. Dulu kau yang selalu memperpanjang durasi ketika aku ingin pulang. Sekarang kau mengajak aku pulang. Haha. Oh iya, aku sudah lama tidak merokok.”
“Aya, hentikan. Kau sedang hamil.”
“Dulu kau tidak pernah melarangku merokok.”
“Sudahlah, Aya. Berhenti bermain-main denganku.”
“Katamu kau selalu mencintaiku, tapi kau tidak selalu mengijinkanku merokok. Ah, kau memang sudah berubah.”
“Aya, aku mohon hentikan. Semua sudah berbeda, bukan?”
“Haha, aku tahu. Aku hanya bercanda. Ceritakan padaku, bagaimana hidupmu sekarang?”
“Entahlah, aku tiba-tiba tak ingin bercerita tentang hidupku.”
“Kau masih ingin memegang tanganku?”
“Sudahlah, ayo kita pulang. Suamimu mungkin sudah menunggu di rumah.”
“Jika dia lembur, dia pulang tengah malam.”
“Pokoknya kita mesti pulang segera.”
“Aku juga selalu mencintaimu. Di depan pintu, cium aku seperti dulu. Aku merindukanmu.”
“Aya, hentikan.”

***

Jalanan malam itu ramai. Jalmo memandang keluar jendela, kendaraan-kendaraan belalu-lalang. Lampu-lampu berloncatan. Tiba-tiba semua menjadi gerak lambat di mata Jalmo. Semua menjadi lengang. Ada yang lebih ramai dari jalanan. Lebih banyak yang berlalu-lalang, berloncatan, di kepala Jalmo.
“Hei, jangan melamun. Kaubilang kau capek. Segeralah mandi. Lalu istirahat.”
“Lihatlah, jalanan itu ramai sekali. Seperti berebut pulang. Apakah mereka benar-benar tahu jalan pulang?”
“Kau ini bicara apa? Lama tak bertemu, kau makin aneh saja. Hmm… ”
“Tolong, jangan dulu. Aku lelah. Lagian aku belum mandi. Tubuhku bau, bukan?”
“Beberapa yang kurindukan darimu adalah bau tubuhmu itu. Aku tahu parfummu, malah aku punya. Aku hapal baumu setelah mandi, sabunmu dijual banyak di toko-toko. Tapi bau tubuhmu, asap rokok, dan keringat di bajumu. Semua kenangan seperti kembali ketika memelukmu dari belakang. Hmm… aku merindukanmu, Jalmo.”
“Oh, begitukah? Aku juga merindukanmu.”
“Hmm… omong-omong, kenapa kau datang lagi ke kota ini?”
 “Kau tak suka aku mengajakmu ke sini? Kalau begitu, mari pulang.”
“Bukan. Bukan itu. Tapi tempat ini, hotel ini, tempat pertama kali… Kita kerap menginap di sini. Apakah kau ingin mengulang kenangan lama itu?”
“Birnya sudah kau minum? Kau sepertinya mabuk.”
 “Haha, ternyata kau belum berubah. Tak ada yang bisa menyuruhmu. Jika kau ingin, tak ada yang bisa menahanmu.”
“Orang itu minum dulu, baru mabuk. Baru ngelantur. Kau ini malah? Minumlah. Aku mau mandi. Setelah aku mandi, kau kutemani minum.”
“Hahaha. Tidak mengajakku?”
“Diam.”
“Kau ini kenapa, Jalmo? Kau pikir hanya kau yang bisa membentak? Aku juga bisa. Kau pikir hanya kau yang punya masalah. Aku juga punya. Kau pikir… ah, aku muak. Kau terlalu banyak berpikir dan aku terlalu banyak memikirkanmu. Aku lelah.”
“Mau ikut mandi?”
“Tidak. Malas aku. Lebih baik minum daripada berbicara denganmu.”
“Jangan terlalu banyak. Ingat keadaanmu.”
“Apa pedulimu. Katanya mau mandi. Sana!”
“Iya. Tenanglah. Aku mandi. Benar tak mau ikut?”
“Diam.”
“Hahaha.”
Pyarr! Pecahan kaca berhambur di lantai. Gemericik suara air dari kamar mandi tak bisa menghalangi. Ada suara botol bir yang sampai ke telinga Jalmo. Tertekur. Lalu bergetar. Dia keluar.
“Hanya mabuk, kan? Kau tidak memecah botol dengan sengaja untuk bunuh diri, bukan? Kau mengagetkanku.”
“Hahaha. Kau mudah ditebak. Di dalam tadi, kau memikirkanku, bukan?”
“Tidak. Aku memikirkan diriku sendiri. Bagaimana jadinya jika kau mati di sini? Aku menginap denganmu.”
“Aku selalu ingin bunuh diri. Tapi, aku tak akan melakukannya sekarang. Kau memang pintar, tapi aku tak sebodoh itu.”
“Iya, aku tahu. Kau mengganggu mandiku.”
“Dan aku suka melihatmu telanjang seperti itu.”
“Diam.”
“Hahaha. Kubereskan dulu pecahan botol ini. Melakukan sesuatu bahkan untuk keseruan pun ada resikonya. Oh, iya, Jalmo. Setelah mandi tak usah berpakaian, langsung saja ke… aku akan sudah… lalu kita… haha… kau tahu… seperti dulu… kita… ah, aku ini… apa… pokoknya nanti… langsung ke ranjang.”
“Kau mabuk. Ngelantur, suaramu kalah dengan suara air. Bersihkan saja pecahan botol itu.”
“Lalu aku mendekap… lelap. Aku akan bersandar di… melihatmu… rokok. Kau terlihat… jika aku meman… dari bawah, dari dadamu.”
“Setelah mandi, kita tidur. Benar-benar tidur. Aku lelah. Kau juga, jangan minum terlalu banyak, ingat keadaanmu.”
“Apa tidur? Sia-sia aku menginap jika hanya mendengarmu mendengkur? Kau kira aku menemanimu tanpa resiko, jika suamiku tahu... tak cuma... tapi aku.... selesai.”
“Aya, hentikan. Kau sedang hamil.”
“Tapi aku merindukanmu, Jalmo.” suara Aya bergetar, seperti ada yang berguguran di dadanya.
“Aku juga merindukanmu, Aya.” suara Jalmo datar. Air berhenti mengucur, gelembung sisa sabun bertahan di genangan. Menggenang.

Bekasi, 26 Juli 2012

No Response to "Menggenang"

Posting Komentar