Janji


Aku akan naik ke kereta itu, lalu mengirim pesan ke ibu. Bu, aku sudah berada di kereta. Dan sepuluh menit menjelang keberangkatan. Begitulah. Kupikir tidak ada yang menarik dari perjalanan. Tidak ada lagi. Aku sudah ke sana ke mari naik kereta, sejak balita. Bangku, tas-tas berjajar di atas kepala, jendela. Begitulah. Jadi, aku masuk stasiun dengan biasa. Mendekati pemeriksaan tiket dengan biasa. Berjalan ke arah kereta dengan biasa. Naik, menyusuri lorong gerbong dengan biasa. Semua biasa sampai aku menemukan tempat dudukku. 13a. Tigabelas angka sial. A inisialku. Aduh, ini sialku.

Aku salah. Ini tidak sialku. Perjalanan ini juga tidak biasa. Sebab, kali ini, perempuan muda, tak begitu cantik tapi senyumnya indah, duduk di sampingku. 13b. Ini pengalaman pertamaku duduk berdampingan dengan perempuan muda di kereta, aku grogi. Aku ingin berkenalan. Tapi aku bingung dari mana. Katanya, jangan berkenalan dari bertanya nama. Itu membawa nasib buruk untuk pertemanan. Bertanya tujuan itu cara lama, lagian aku sudah tahu tujuannya. Pasar Senen. Lalu dari mana, hmm, begini saja. Akan kutanya dia, "jika aku ingin berkenalan, enaknya aku bertanya soal apa dulu ya?"

Belum kutahu nama. Paling tidak beberapa kali, aku menatap matanya. Dia menatap mataku. Tertawa kecil. Membenarkan letak duduk. Tubuhnya kecil. Lengannya kecil. Dadanya kecil. Tapi matanya, mata itu besar. Indah dan dalam, apalagi ketika dia tersenyum. Haha. Ketika kutanyakan pertanyaanku tadi, dia bingung. Tersenyum--mungkin berusaha tetap sopan--tapi tampangnya bingung. Atau waspada, seperti memerhatikan gerak-gerik. Mungkin dia pikir aku laki-laki iseng yang menggodanya. Tapi setelah beberapa pertanyaan, dia mulai tertawa. Oh, jika kau bisa membayangkan, kau akan jatuh cinta. Tawa yang indah. Mungkin dia pikir, aku laki-laki konyol yang iseng. Dan dia tertawa. Sesekali tersenyum. Ah, bagaimana bisa senyum itu tak membuat orang jatuh cinta? Semua orang akan, eh, tapi. Iya. Mungkin begitu. Ya, pasti begitu. Dia punya laki-laki yang sudah jatuh cinta padanya. Punyakah dia? Atau hanya pikiranku saja. Akan kucari tahu. Pelan. Tenang. Huft. Aku tidak perlu cemburu. Aku hanya perlu mencari tahu.


Dia ingin istirahat, katanya. Dia memalingkan muka, dariku ke arah jendela. Jendela sialan. Oh, ternyata kereta berhenti. Sampai Stasiun Pekalongan. Aku sendiri lagi. Kupandangi lorong-lorong gerbong. Depan. Belakang. Banyak asongan yang naik. Laki-laki. Perempuan. Menawarkan kopi. Yang kopi, kopi. Yang koran, koran. Koran yang dijual malam hanyalah alas tidur. Koran memang cepat basi. Yang nasi, nasi. Ada rames, ada goreng. Yang makan, makan. Haha. Ini gerbong apa pasar tiban? Ada lagi yang menawarkan batik. Dua puluh ribuan. Batik celana pendek. Yang kacang, kacang. Pisang rebus, kacang, kacang. Ah, tiba-tiba lorong sibuk. Huft. Bingung sendiri. Kupalingkan pandang. Ke arah jendela. Ternyata perempuan muda tadi tak tidur. Dia terjaga. Mataku bertemu matanya. Aku dikalahkan matanya. Tumbang aku, jatuh. Tidak ke pelukan asongan. Tapi ke tatapan matanya. Andai saja aku penyair, pasti sudah kutulis sajak tentang cinta di Stasiun Pekalongan. Andai saja. Andai aku. Tapi aku bukan. Meski masih saja sulit bagiku menampik bahwa stasiun, kereta, dan menunggu adalah ajakan jatuh cinta. Aduh, aku tumbang, aku jatuh. Tidak di pelukan asongan. Tapi di mata perempuan di Stasiun Pekalongan.

Dia tersenyum, aku tersenyum. Dia menutup mata, memalingkan muka ke arah jendela. Aku melihat rambut hitamnya. Ah, biasa. Rambutnya biasa. Bagaimana bisa perempuan dengan senyum dan mata paling indah di Stasiun Pekalongan punya rambut yang biasa-biasa saja? Benar-benar biasa. Kasar apabila kukatakan rambut itu kusam, kering dan bercabang. Kasar pada pikiranku sendiri. Kasar untuknya jika dia tahu nanti. Sempat aku berpikir rambutku lebih terurus dari rambut itu. Ah, hidup memang tak adil. Kupandang ke arah jendela. Ke luar. Ada yang membuatku tertawa. Aku tidak peduli pada rambut tadi. Kereta yang semula berhenti, mulai berjalan. Aku selalu suka pengalaman ini. Perasaan bertanya-tanya mana yang bergerak. Apakah kereta? Apa dunia di luar sana? Apa aku? Apa stasiun itu? Perasaan yang kadang sudah kalah oleh logika, aku tahu dan sadar betul kereta yang bergerak. Lama-lama hal semcam itu menjadi biasa. Banal. Tapi ada apa dengan malam ini? Perasaan bertanya-tanya itu muncul lagi. Semua menjadi seru kembali. Ah, aku jadi ingin merokok. Sebentar, aku ke bordes gerbong dulu.

Rokok tinggal enam batang. Masih enam batang, maksudku. Masih cukup, paling tidak jika setiap satu jam aku merokok di bordes. Tapi aku merokok satu. Tidak pernah lebih. Kusulut dengan korek. Dari saku jaket. Korek yang tadi tidur sesaku dengan ponsel. Kukembalikan korek ke saku, kuambil ponselku. Ini sampai mana? Ah, pasti ada sinyal. Aktifkan facebook. Mungkin ada beberapa pemberitahuan. Benar. Ada, beberapa. Salah satunya komentar di statusku. Tautanku. Slavoj zizek. Dia konon ternama, dan pintar juga, katanya. Begini salah satu komentarku tentangnya.
Haha. Aku malah belum membaca banyak tentang zizek. Aku mendengarkannya melalui youtube. Seperti mahasiswa yang kadang mengantuk mendengarkan dosen. Tapi zizek keren. Dia berorasi berapi-api, sesekali menyeka hidung dan menarik kaos yang basah karena keringat. Gesturenya puitis, lecturenya intelektual. Keren. Bwahahaha.

Ada yang berkomentar lanjutan. Zizek memang keren. Iya. Aku tahu itu. Ada yang berkomentar jouissance. Entah, aku tak tahu istilah ini. Apalah artinya, sepertinya itu bahasa yang keren kalau diucapkan. Jouissance. Jou issance. Haha. Sebentar, aku tertawa. Sebentar, aku menghisap rokokku dulu.
Zizek, konon dibaca yiyek, memang keren. Tapi tidak sekeren jouissance. Jouissance. Jus isong. Jus iseng. Just iseng. Sebentar, aku sedang iseng mengajak kenalan perempuan muda di sampingku. Dia akan turun di Pasar Senen. Aku di Jatinegara. Sebelum itu, aku ingin mengetahui namanya. Atau paling tidak, nomor hape. Zizek, yiyek, jangan cemburu. Nama dan nomor hape itu tak akan menandingi elapan hidung dan tarikan kaosmu. Besok kau kulihat lagi. Aku janji, tanpa kantuk. Tapi jika aku nanti mengantuk, jangan marah, semua manusia pernah ingkar janji. Hihi. Apalagi laki-laki. Terlebih yang sedang jatuh cinta. Bwahahahaha.

Bwahahaha adalah mantra. Di facebook, mesti sering-sering mengetik bwahahaha. Kata mantra itu sakti. Termasuk mantra tadi. Paling tidak bisa membuat facebook yang membosankan jadi sedikit menyenangkan. Tapi aku sudah bosan di bordes ini. Rokokku juga sudah di lantai. Kuinjak-injak. Kenapa kuinjak? Karena kulihat ada stiker dilarang merokok di kereta. Bwahahaha. Kulihat beberapa menit setelah menyulut rokok. Bwahahaha.

Aku kembali. Duduk lagi. Di samping perempuan muda tadi. Dia sudah tertidur rupanya. Menghadap jendela. Rambutnya yang hitam biasa itu menghadap ke aku. Kupandang ke jendela, melihat ke luar, gelap. Ya, gelap malam itu. Namanya juga perjalanan malam hari. Ternyata tetap seperti ini. Perjalanan yang biasa. Perempuan dengan senyum dan mata indah dan rambut biasa di sampingku. Aku memandang kosong ke lantai. Merasakan kereta yang bergetar, berjalan menyusuri rel. Sendirian lagi, pikirku. Tidak ada nama yang ingin aku tahu. Tidak ada perempuan yang tertawa denganku. Uh, tapi aku sudah naik kereta sejak balita. Bangku, tas-tas berjajar di atas kepala, jendela. Begitulah. Ditambah koran-koran tergelar di lantai, dengan tubuh-tubuh tergeletak di atasnya. Benar-benar perjalanan malam. Dan tidur. Memang, perjalanan malam yang biasa adalah duduk dan menunggu kantuk, lalu tidur. Aku...

Sahur. Sahur. Sahur. Aku bangun. Kereta masih berjalan. Lelaki berpakaian rapi juga berjalan. Membawa nampan. Beberapa piring berisi nasi goreng, nasi rames. Dan kopi. Dan susu. Dan teh. Semua hangat. Sahur. Sahur. Sahur. Lelaki berpakaian rapi bukan takmir masjid yang membangunkan semua orang dari tidurnya. Dia karyawan kereta api, menawarkan makanan dari gerbong restorasi. Kuhentikan langkahnya. Sahur, nasi goreng, atau nasi rames, tanyanya. Tidak. Aku hanya bertanya ini sampai mana. Menjelang Bekasi. Oh, terima kasih. Lelaki itu berjalan lagi. Sahur. Sahur. Sahur. Persiapan, persiapan. Stasiun Bekasi. Begitu katanya.

Bulan puasa, tapi aku tidak sahur di kereta. Pernah sekali aku membeli makanan di kereta, mahal. Barangkali memasak di atas kereta yang berjalan itu butuh keahlian tersendiri. Bisa jadi semacam aksi. Dan aksi adalah alasan menaikkan harga makanan tinggi-tinggi. Tidak lagi, aku tidak lagi akan makan di kereta. Dukduk dukduk. Dukduk dukduk. Aku masih duduk. Tasku sudah aku turunkan. Aku bersiap-siap turun. Dukduk dukduk. Dukduk dukduk. Irama khas kereta dan relnya. Banyak orang yang suka, bagiku biasa. Oh, iya. Perempuan muda dan rambutnya yang biasa. Kutengok jendela. Dia masih tidur. Apa dia tidak sahur? Apa kubangunkan dan berbincang sebelum kereta tiba di jatinegara? Tidak. Tidak perlu. Aku toh tidak kenal dia. Belum tahu nama.

Jatinegara. Tiga empat lima. Dan kereta yang bergerak ke barat. Laki-laki iseng melanggar janji. Pada dirinya sendiri. Berjanji berkenalan dengan perempuan muda di kereta. Hanya mendapat kenangan tentang tawa dan obrolan biasa. Juga rambut yang biasa. Dan sialnya, tas punggungku ini beratnya luar biasa. Aku harus segera sampai dan meletakkannya. Tapi ini bulan puasa. Dan aku nanti akan puasa. Sahur di mana? Di rumah saja. Rumah kakakku, bukan rumahku. Di Bintara, Bekasi barat. Dekat Pondok Kopi. Bekasi atau Pondok Kopi, aku tetap menyebutnya Jakarta. Pokoknya, sekitar ibukota adalah Jakarta. Ciri khasnya sama. Macet. Solusi macet adalah ojek. Bang, ojek ke Pondok Kopi berapa. Tiga puluh lima. Wah, mahal banget. Namanya juga bulan puasa. Semua harga naik. Dua lima, ya bang. Wah, tiga lima sudah sampai Bintara. Pas. Iya, pas bisa sahur dan belum imsak. Ada penjual soto ayam di depan Stasiun Jatinegara. Aku sahur di sini saja. Ojek mahal. Siapa tahu soto ayam murah. Jadi, bang? Tiga puluh dah. Buat penglaris. Tukang ojek memandangku lekat. Seperti pria iseng yang menggoda. Tapi jelas dia tidak hendak bertanya nama. Baiklah. Aku sahur di rumah. Ini helmnya, kata tukang ojek. Jam segini sepi kok, nanti sahur enak di rumah, katanya lagi. Jelas tidak dengan lauk tahu tempe. Harganya sedang tinggi.

Bekasi, 26 juli 2012


2 Response to "Janji"

gravatar
Unknown Says:

mengingatkan saya pada si cantik di pesawat :P

Posting Komentar