Sembilan Puluh Sembilan

Café du Cœur, meja dekat jendela, seorang laki-laki duduk, menatap asbak di depannya. Sebatang rokok bersandar di sana, terbakar. Tangan kanan laki-laki memegang sendok, memutar-mutarnya, mengaduk minuman di dalam gelas yang ia genggam dengan tangan kirinya.

Dari meja sebelah, Aya memandang, bertanya pada diri sendiri siapakah laki-laki itu. Aya merasa mengenalnya. Aya lupa. Aya mengingat-ingat. Aya lupa-lupa ingat. Aya memberanikan diri, memegang yang ia ingat, mengesampingkan yang ia lupa, bertanya kepada laki-laki itu. "Jalmo ya?"

Laki-laki itu menatap kosong ke arah Aya. Tak berkata apa-apa. Laki-laki itu kembali menatap asbak. Tangan kirinya melepas gelas, mengambil rokok di asbak. Laki-laki itu menghisap, lalu meletakkan kembali rokok itu, di asbak. Tangan kirinya kembali menggenggam gelas, tangan kanannya memutar sendok, mengaduk minuman, lalu laki-laki itu bergumam, "Sembilan puluh sembilan. Sembilan puluh sembilan." Berulang-ulang.

Aya mendengar gumaman laki-laki itu. Aya kembali mengingat-ingat. Aya lupa ingat-ingat. Makin banyak yang Aya ingat. Dia pasti Jalmo; sikapnya yang aneh, air mukanya yang kosong, pikir Aya. "Jalmo, apanya yang sembilan puluh sembilan?" tanya Aya, mulai yakin laki-laki itu memang Jalmo, kawan lamanya.

Laki-laki itu sempat menghentikan, sebentar saja, gerakan tangan kanannya yang memutar sendok, mengaduk minuman di dalam gelas. Tapi dia kembali melakukannya, sambil terus saja bergumam, "Sembilan puluh sembilan. Sembilan puluh sembilan." Berulang-ulang.

Aya sudah lama tak bertemu Jalmo. Aya sudah lama berteman dengan Jalmo. Aya tahu, Jalmo itu bagaimana. Aya tahu inilah saatnya mengeluarkan jurus pamungkas. "Jay, apanya yang sembilan puluh sembilan?"


Laki-laki itu menghentikan apa yang dilakukannya, menoleh ke arah Aya, tersenyum. "Hai, Aya. Apa kabar? Maukah kau menjadi pacarku?"

Aya tertawa, tidak peduli pertanyaan Jalmo, berkata, "Sudah kuduga itu kau, Jay. Apa kabar? Berapa lama kita tidak bertemu ya?"

"Jawab pertanyaanku, Aya."

Aya tersenyum, senyuman seorang yang bahagia bertemu kawan lama. "Kabarku baik, Jay. Kau?"

"Jawab pertanyaanku, Aya."

Senyum di wajah Aya hilang. Setelah sekian lama, sifat menyebalkan Jalmo tidak hilang juga, pikir Aya. "Pertanyaan apa, Jay?" tanya Aya, datar.

"Maukah kau jadi pacarku?"

"Jay, sudah berkali-kali kubilang, kita kawan. Kawan baik. Dan terakhir kali kita bertemu, aku sudah berpacaran. Lihat ini, aku sudah bertunangan." Aya berdiri, meluap kepada Jalmo, menunjukkan cincin di jari manis tangan kirinya. Tangan yang lalu menyambar tas di kursi. Aya beranjak pergi.

Senyum di wajah Jalmo hilang. Tangan kirinya kembali menggenggam gelas, kali ini lebih erat. Tangan kanannya kembali memutar-mutar sendok, mengaduk minuman di dalam gelas, kali ini lebih cepat. Mata Jalmo menatap asbak di depannya. Rokok yang sedari tadi bersandar, sedari tadi terbakar sudah menjadi abu. Lalu jatuh. Lalu Jalmo bergumam, "Seratus, seratus, seratus, seratus." Berulang-ulang.

---

No Response to "Sembilan Puluh Sembilan"

Posting Komentar