Berapa Banyak Kita Bertaruh?


oleh Italo Calvino

Logika sibernetika, jika dihubung-hubungkan dengan sejarah jagat raya, adalah proses yang menjelaskan bagaimana galaksi, sistem tata surya, Bumi, dan makhluk bersel satu tercipta. Merunut teori sibernetika, jagat raya dibentuk dari serangkaian kejadian timbal balik, positif dan negatif. Diawali dengan gaya gravitasi yang memadatkan hidrogen di awan primitif, lalu melalui serangkaian reaksi atom dan akhirnya dipengaruhi oleh gaya sentrifugal yang menjaga semuanya tetap seimbang. Sejak itu, semua berjalan sesuai aturan. Semua mengikuti logika rangkaian proses seperti di atas.
Begitulah prosesnya, meski pada mulanya tidak ada yang mengetahuinya, jelas Qfwfq. Maksudku, kau mungkin bisa meramalkannya, atau dengan kata lain, menebaknya. Aku tidak ingin membual, tapi sejak awal aku merasa bakal ada jagat raya. Dan aku benar. Bahkan aku benar pula tentang bagaimana proses terjadinya. Tersebab itulah aku menang banyak dari Si Tua Dean (k)yK.
Ketika itu, saat kami pertama kali bertaruh, belum ada apa-apa untuk diramalkan. Paling hanya beberapa partikel yang berputar-putar, beberapa elektron yang berserakan di sini dan di sana, dan proton-proton yang berputar di tempatnya. Aku mulai merasakan sesuatu yang janggal, seperti perasaan bahwa cuaca akan berubah. Memang, aku merasakan di sekitarku semakin dingin. Akhirnya aku berkata, “Bagaimana kalau kita taruhan? Sebentar lagi akan tercipta atom.”
Halah, omong kosong. Atom? Tidak ada hal semacam itu. Dan aku akan bertaruh tidak untuk apapun yang kaukatakan.” kata Dean (k)yK.
“Kita mulai taruhan dari ix?” kataku.
“Dari ix kunaikkan jadi en!” jawabnya, pongah.
Seketika setelah dia menaikkan taruhan, elektron-elektron mulai berdenging dan bergerak memutari proton. Awan hidrogen di sekitarnya semakin pekat. “Lihat itu? Atom!”
“Ah, masa benda itu kau sebut atom?” kata (k)yK. Berkilah adalah kebiasaan buruknya. Dia tidak pernah mau langsung mengakui dia kalah taruhan.

Aku dan Dean selalu bertaruh. Sebab tidak ada hal lain yang bisa kami lakukan. Lagian, bertaruh dengan Dean adalah satu-satunya bukti yang meyakinkanku bahwa aku ada. Dan, bagi Dean, bertaruh denganku adalah satu-satunya bukti untuknya berpikir bahwa dia ada. Taruhan kami adalah apakah sebuah peristiwa itu akan atau tidak akan terjadi. Tentu saja pilihan taruhannya begitu banyak. Sebab ketika itu, belum banyak yang benar-benar terjadi. Bahkan kami kesulitan untuk membayangkan bagaimana kejadian itu akan terjadi. Kita menciptakan semacam kode; peristiwa A, peristiwa B, peristiwa C, dan seterusnya. Kode-kode itu untuk membedakan peristiwa satu dengan yang lain. Mudahnya seperti ini. Saat itu belum ada simbol alfabet, bahkan belum ada simbol tertentu untuk menandai urutan. Jadi, pertama kali, kami bertaruh bagaimana simbol penanda urutan itu terjadi, setelah itu, kami menggunakan simbol-simbol itu untuk menandai urutan-urutan peristiwa yang jadi taruhan. Sekadar untuk membedakan taruhan satu dengan yang lain. Ketika itu, kami belum tahu apa-apa.
Kami bahkan tidak tahu kami bertaruh dengan apa. Tidak ada yang kami tahu cukup berharga untuk menjadi alat taruhan. Akhirnya kami menjadikan kata-kata sebagai alat taruhan. Pemenang menyimpan kata-kata yang dipertaruhan, dan bisa mempertaruhkannya lagi nanti. Perhitungan seperti ini sungguh rumit. Ketika itu, angka belum ada. Kami bahkan belum tahu konsep menghitung, termasuk bagaimana cara berhitung. Sebab, semua hal berhubungan erat satu sama lain. Hampir tidak mungkin untuk memisah-misahkan.
Situasi mulai berubah ketika dalam protogalaksi, bintang proto mulai menggumpal. Aku sadar ketika itu, kegelapan akan berakhir. Suhu terus beranjak naik. Lalu aku berkata, “Sebentar lagi kita semua akan terbakar.”
“Sinting!” kata Dean.
“Berani bertaruh?” tantangku.
“Tentu saja.” jawabnya. Dan bledarr! Bulatan-bulatan yang bercahaya bermunculan, membesar, dan memecah kegelapan.
“Halah, masa peristiwa seperti itu kau bilang ‘semua akan terbakar’…” Seperti biasa, (k)yK mulai berkilah.
Seiring bergaul dengannya, aku menemukan caraku sendiri untuk membuatnya diam, “Bukan ya? Lalu apa kata yang tepat untuk menyebut peristiwa seperti itu?”
Dean (k)yK terdiam, imajinasinya begitu payah. Saat sebuah peristiwa mulai disebut dengan suatu kata, dia tidak bisa membayangkan kemungkinan kata lain yang bermakna sesuai dengan peristiwa tersebut.
Jika kalian sering bergaul dengan Si Tua Dean (k)yK, kalian akan memahami bagaimana dia. Seseorang yang sedikit membosankan, tidak mengembangkan wawasannya. Dia seperti tidak punya banyak ide untuk diceritakan. Berbeda denganku, aku berada di sisi yang lain. Aku banyak bicara, meski hampir semua yang kubicarakan belum pernah terjadi. Barangkali di masa kalian peristiwa-peristiwa itu sudah terjadi. Tapi di masa kami, peristiwa-peristiwa itu masih belum terjadi. Satu hal yang aku butuhkan adalah memperkirakan gambaran sebuah peristiwa. Atau lebih tepatnya, menciptakan perhitungan tentang kemungkinan terjadinya sebuah peristiwa. Dan apabila datang saat untuk memperkirakan dan memperhitungkan, aku punya imajinasi yang lebih liar dari Si Tua Dean. Itu menjadi kekuatan sekaligus kelemahanku. Karena, dengan memiliki lebih banyak kemungkinan, itu membuat taruhan jadi lebih beresiko bagiku. Tapi juga, dengan begitu, kemungkinan kemenangan dari kami berdua jadi setara.
Aturannya, aku bertaruh kemungkinan sebuah peristiwa akan terjadi, dan Si Tua Dean bertaruh sebaliknya. Si Tua (k)yK mempunyai gambaran statis tentang realita, begitulah aku menggambarkan cara berpikirnya. Perbedaan makna antara statis dan dinamis ketika itu tentu sangat berbeda dengan sekarang. Sebab, ketika itu, perbedaan masih jarang, dan kami harus sangat berhati-hati dalam membedakan sesuatu.
Ambil saja satu contoh. Ketika bintang-bintang mulai membesar, aku berkata, “Seberapa besar?” Aku menggiring ramalan-ramalan itu ke semacam satuan. Tentu saja, Dean tidak punya cukup imajinasi untuk membayangkannya.
Ketika itu, hanya ada dua satuan, satuan e dan satuan pi. Si Tua Dean menemukan sesuatu di kepalanya. Bintang-bintang itu akan terus membesar. Dia berkata, “Mereka akan membesar, dari e sampai ke pi.”
Sok pintar si Tua ini! Orang bodoh bisa lebih pintar dari dia. Tapi kusadari persoalan tidak sesederhana itu. “Taruhan kapan pembesaran itu berhenti, di titik mana?”
“Baik. Di titik mana mereka akan berhenti?”
Betapa pintar aku! Aku membiarkan Si Tua Dean bertaruh di titik pi. Dan dia terkecoh.
Semenjak itulah, kami bertaruh dengan satuan e dan pi.
Pi!” teriak Si Tua Dean di tengah-tengah kegelapan dan serakan kilatan cahaya. Tapi tentu saja, hasilnya adalah e.
Sebenarnya kami hanya sedang bersenang-senang. Tentu saja, karena kami tidak mendapatkan apa-apa ketika menang, atau kehilangan sesuatu ketika kalah. Ketika beberapa elemen sudah tercipta, kami mulai mempertimbangkan alat taruhan, elemen-elemen atom yang langka. Aku menyangka teknetium adalah elemen yang paling langka. Oleh karena itu, kami mulai bertaruh dengan teknetium. Aku menang, dan menang, dan menang. Sedikit teknetium, sedikit teknetium lagi, akhirnya bukit teknetium. Aku mempunyai kerajaan teknetium. Tapi aku membuat kesalahan. Aku tidak memperkirakan bahwa teknetium adalah atom yang tidak stabil, yang partikel-partikelnya menghilang seiring pancaran radiasinya. Hingga suatu ketika, aku tidak punya kerajaan teknetium. Aku tidak punya apa-apa.
Kadang aku juga salah memperhitungkan dan kalah taruhan. Lalu aku mulai mengalahkan Si Tua Dean lagi. Aku mulai berhati-hati dengan perhitungan-perhitunganku.
“Isotop Bismuth akan segera muncul!” teriakku, tergesa-gesa, setelah melihat ada elemen baru yang terus mewujud di tengah-tengah Supernova. “Mari bertaruh!”
“Tentu. Karena bukan itu yang akan muncul, tapi atom polonium yang masih mentah.”
Si Tua Dean (k)yK tentu akan tertawa bangga jika memenangkan taruhan ini. Padahal dia hanya bermain berdasarkan kecerobohan ramalanku. Dan sebaliknya, makin aku tahu, makin aku memahami mekanisme terjadinya tiap peristiwa, dan menelaah kembali perhitunganku, aku bisa benar-benar bisa menebak apa yang akan terjadi. Pembentukan galaksi baru hanyalah pengulangan dari mekanisme lama, yang sudah berulang-ulang selama jutaan tahun cahaya, tidak lebih tidak kurang. Dengan begitu, semua nampak sudah jelas bagiku, meski bagi Si Tua Dean belum. Dan bagiku, taruhan menjadi terasa begitu mudah dan membosankan.
Akhirnya, berdasarkan perhitungan-perhitunganku yang belum terbukti, aku mencoba menemukan peristiwa-peristiwa lain yang masih mungkin terjadi karenanya. Akhirnya, aku menemukan beberapa kemungkinan peristiwa yang nampaknya tidak berhubungan dengan apa yang sedang kami taruhkan. Aku mengajaknya berdiskusi tentang peristiwa-peristiwa itu.
Seperti misal, ketika kami sedang berdebat dan bertaruh tentang lengkungan dari spiral galaksi, aku mulai bertanya, “Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu, akankah Asiria menyerang Mesopotamia?”
Si Tua Dean terhenyak, lalu terbahak. “Meso apa? Kapan?”
Aku cepat-cepat melontarkan tanggal dengan serampangan saja, tentu bukan dalam hitungan tahun atau abad. Ketika itu, satuan untuk menghitung waktu belum ditemukan. Dan untuk menghitung dan menentukan kapan tepatnya, kami akan membutuhkan papan tulis besar untuk menuliskan rumus yang membingungkan tentang waktu.
“Darimana kau dapat pikiran itu?
“Katakan saja, mereka akan menyerang atau tidak? Aku pikir mereka akan, tentu pilihanmu adalah mereka tidak akan. Begitu saja ya? Jangan terlalu berbelit-belit.”
Kami masih berada di kekosongan yang tak berbatas, diayunkan ke sana ke sini oleh aliran-aliran hidrogen di pusat pembentukan galaksi. Aku akui adalah hal yang sangat rumit untuk sekadar membayangkan bagaimana dataran rendah Mesopotamia yang gelap dengan orang-orangnya yang sedang menunggang kuda. Tapi karena aku tidak punya banyak hal untuk dilakukan ketika itu, aku menyibukkan diri dengan membayangkannya.
Di persoalan tadi, Dean selalu bertaruh tidak akan. Bukan karena dia percaya Asiria tidak akan menyerang, melainkan karena dia menampik kemungkinan-kemungkinan tentang akan adanya Asiria, Mesopotamia, dan Bumi. Bahkan umat manusia.
Taruhan ini, tentu saja, termasuk dalam jenis taruhan jangka panjang. Tidak seperti taruhan-taruhan yang biasa kami lakukan, yang hasilnya bisa kami lihat setelah kami bertaruh. “Kau lihat Matahari di sebelah sana, yang ada elipsoid di sekitarnya. Sebelum planet-planet itu rampung tercipta. Katakan berapa jauh jarak dari satu orbit ke orbit lainnya?”
Aku sudah mulai jarang berbicara, barangkali sudah delapan atau sembilan—aku bicara apa ini, satuan?—enam atau tujuh juta tahun sejak terakhir aku berbicara dan bertaruh dengan Si Tua Dean. Dan selama itu, planet-planet menyempurnakan bentuk orbitnya. Ada yang menyempit, ada yang melebar.
Bagiku, semua ini menyenangkan. Selama berjuta-juta tahun, kami melakukan banyak taruhan. Kami tidak pernah lupa pada apa yang pernah kami pertaruhkan. Masing-masing dari kami pun ingat berapa banyak taruhan yang sudah dimenangkan—telah terjadi suatu masa saat angka ditemukan dan itu rumit, aku tidak akan menceritakan di sini. Sampai akhirnya, aku semakin kaya. Sedangkan Dean tenggelam dalam hutang sampai setinggi telinga. Meskipun begitu, aku akan terus membayangkan sesuatu, lagi dan lagi, kemungkinan-kemungkinan lain yang mungkin terjadi dan dapat kami pertaruhkan.
“Pada 8 Februari 1926, di Santhia, kota kecil di daerah Vercelli, paham maksudku? Di Via Garibaldi nomor 18, Hei, kau paham tidak? Gadis Muda, Giussepina Pensotti, berumur dua puluh dua tahun, akan meninggalkan rumahnya pukul enam petang. Dia akan berbelok ke kiri atau berbelok ke kanan?”
“Hmm… “ (k)yK seperti sedang berpikir.
“Ayo, cepat. Aku pikir dia akan belok kanan.” Dan menembus Kabut Nebula, menyingkap beberapa orbit dari planet-planet di beberapa galaksi, aku bisa melihat kabut mulai naik di jalanan Santhia. Lampu taman membentuk berkas cahaya yang melingkar di jalanan bersalju. Nampak bayangan memanjang dari Giussepina Pensotti yang sedang berjalan lalu berbelok melewati sebuah bangunan, dan menghilang.
Untuk peristiwa-peristiwa di angkasa, aku selalu membuat taruhan baru dengan Dean, dan menunggu dia kalah. Ramalanku selalu saja benar. Tapi semangat berjudiku makin liar, dari mulai bertaruh pada kemungkinan iya dan tidak, lalu pada kemungkinan apa yang akan terjadi setelah sebuah peristiwa terjadi, sampai bertaruh pada hal-hal remeh temeh. Aku mulai menggabung-gabungkan ramalan. Dalam satu waktu kami bertaruh dua hal, satu yang akan segera terjadi, satunya yang jangka panjang dan memerlukan perhitungan yang rumit.
“Lihat, planet mana yang lebih dulu membentuk atmosfernya? Merkurius? Venus? Bumi? Ayo, cepat! Tetapkan pilihanmu. Sambil kau memutuskan yang mana, mengapa tidak kau tebak Indeks Peningkatan Demografis kawasan India selama Pendudukan Inggris. Jangan terlalu serius memikirkannya, tebak saja!”
Aku sudah lama membayangka banyak kemungkinan peristiwa. Dengan begitu, aku bisa mengumpulkan beberapa di tanganku dan menghempaskannya keras-keras tepat di muka Si Tua Dean (k)yK. Dia pasti kebingungan. Dia bahkan tidak pernah membayangkan peristiwa-peristiwa itu bakal ada. “Manchester United dan Juventus, di semifinal. Manchester United bermain di kandang, siapa yang bakal menang?”
Dan tiba-tiba aku menyadari sesuatu. Aku sudah menciptakan susunan kata-kata baru dari kemungkinan kombinasi tak terhingga tanda-tanda sederhana. Huruf-huruf yang kaku tapi mahir menggabungkan diri untuk menyembunyikan sifatnya yang monoton. Aku juga menyadari jika mungkin saja manusia nanti—manusia yang aku sedang aku harapkan dan perkirakan bakal ada—juga akan bisa mengombinasikannya seperti ini. Aku meramalkan itu bakal butuh waktu yang lama. Seiring itu, mereka juga mungkin akan bisa memecahkan rumus geometri segitiga, lalu menyingkap rahasia di dalamnya, dan menemukan bangun seperti lapangan sepakbola yang kubayangkan. Kotak dan memanjang. Mereka menandai sisi-sisi lapangan dengan garis putih sebagai batas. Dan di dalam kotak itu, ada pemain dengan tanda di dada dan punggung. Itu mungkin mereka ciptakan untuk membedakan satu sama lain ketika menontonnya dari jarak jauh.
Sekarang, aku makin tenggelam dalam era baru sebuah perkiraan. Aku mempertaruhkan semua yang sudah aku ketahui. Siapa yang bisa menghentikanku? Kebiasaan Dean yang selalu meragukanku hanya menambah resiko bahwa aku mungkin salah. Ketika aku sadar aku salah, aku sudah benar-benar terjebak. Kepuasan—makin lama makin kecil—yang aku rasakan hanya karena akulah yang pertama kali membayangkannya peristiwa tersebut. Bukan Si Tua Dean. Tapi dia terus saja tertawa atas kemenangannya, tidak sadar bahwa alasan atas semua itu hanyalah, dia sedang beruntung. Aku mulai jengah dengan suara tawanya yang makin sering muncul.
“Qfwfq, kau tahu kan sekarang, Amenhotep IV tidak mempunyai kelainan seksual! Aku menang!”
“Qfwq, lihatlah Pompey. Dia kalah telak dengan Caesar. Apa kubilang?”
Aku belum bisa menemukan di mana letak kesalahanku. Aku merasa tak perlu untuk memeriksa kembali bagian per bagian, mekanisme ini semestinya berjalan sesuai aturan. Bahkan jika aku memeriksa kembali pun, hasil perhitunganku akan tetap sama.
“Qfwq, di pemerintahan Kaisar Justin, yang dibawa dari China ke Konstantinopel itu ulat sutra, bukan mesiu. Katakan aku sedang mengigau?”
“Iya, Iyaaaa! Kau benar, kau menang.”
Aku marah pada diriku sendiri, bagaimana bisa aku membuat perhitungan yang begitu mengambang, kejadian-kejadian yang tak pasti. Tapi sekarang, aku tidak bisa mundur. Tapi sekarang, aku tidak bisa meluruskan semua. Lagipula, meluruskan semua bagaimana? Atas dasar apa?
Tuh, Balzac tidak membuat Lucien de Rubempré bunuh diri di akhir novel Les Illusions Perdues,” kata Dean dengan nada kemenangan, nada yang biasanya aku pakai untuk mengejeknya. “Dia diselamatkan oleh Carlos Herrera, alias Vautrin. Itu lho, tokoh yang juga Balzac munculkan di Père Goirot. Oh iya, Qfwfq, kita masih akan bertaruh lagi, kan?”
Keberuntunganku memudar. Hasil kemenanganku sebelumnya, yang sudah aku simpan dalam bentuk valuta di Bank Swiss, mulai menipis. Kekalahan mulai sering menemuiku. Meski tidak selalu. Kadang aku masih bisa menang. Malah menang besar. Tapi aku masih belum bisa menemukan mekanisme kejadiannya. Di tiap kemenanganku, aku belum yakin itu karena perhitunganku yang tepat atau hanya kebetulan yang lewat.
Sampailah kami di sini, di saat kami merasa membutuhkan perpustakaan untuk referensi, juga beberapa majalah khusus yang rutin memberitakan peristiwa-peristiwa. Juga program komputer yang rumit, untuk membantu semua perhitungan. Semua itu disediakan untuk kami oleh Lembaga Penelitian. Sejak kami mendiami planet ini, kami mulai menyisihkan hasil taruhan untuk membiayai penelitian. Memang, pada dasarnya, taruhan kami hanyalah cara kami bersenang-senang satu sama lain. Tidak seorang pun mengira hasil taruhan kami bakal sebesar itu. Dan untuk tetap menjaganya seperti itu, kami hidup dengan cara sederhana, menjadi karyawan di perusahaan kami sendiri. Si Tua Dean (k)yK, dia menjabat kepala bagian di perusahaan itu. Dia memaksa direksi untuk mengangkatnya di posisi itu. Meski demikian, dia selalu saja menolak mengaku kepadaku tentang caranya sampai di posisi itu. Kurasa kegemarannya bermalas-malasan adalah alasan utamanya. Dan itu semakin parah, karena dia berpura-pura lumpuh, dan duduk di kursi roda setiap saat. Jabatan kepala bagian, aku pikir, tidak ada hubungannya dengan kemampuan atau usia. Malahan, aku pikir aku lebih berhak menjabat di sana daripada dia. Tapi aku tak ambil pusing tentang itu.
Begitulah. Akhirnya kami sampai di sini. Si Tua Dean (k)yK, dari jendela ruangannya, di lantai teratas kantor perusahaan, duduk di sebuah kursi roda. Di pangkuannya yang tertutup selimut bertumpuk koran-koran dari seluruh penjuru dunia. Dia berteriak keras hingga kau bisa mendengarnya dari seberang jalan. “Qfwfq, perjanjian reaktor nuklir antara Jepang dan Turki tidak terjadi. Mereka bahkan belum membicarakannya. Kau sudah baca ini? Lelaki dari Termini Imperese yang membunuh istrinya sendiri hanya dihukum tiga tahun, tidak seumur hidup seperti tebakanmu.”
Dia mengacungkan korannya. Koran hitam putih, seperti angkasa ketika galaksi-galaksi sedang membentuk diri. Koran hitam putih yang digulung diremas, seperti makhluk bersel satu yang berjejalan, berdenyut tanpa maksud dan tujuan. Kubayangkan kembali betapa menyenangkannya ketika itu, ketika jagat raya sedang mulai terbentuk, kami bisa memprediksi peristiwa, menarik garis lurus atau parabola, lalu memperhitungkan titik temu antara ruang dan waktu. Peristiwa-peristiwa terjadi dengan pasti. Peristiwa-peristiwa berlangsung tanpa gangguan. Tapi kini, peristiwa-peristiwa itu direkayasa, dibuat seperti adonan semen yang dituang ke lubang, satu per satu lubang dipenuhi. Lubang-lubang yang dipisahkan oleh judul, menjadi bangunan kata-kata yang sepertinya bisa dipahami, tapi sangat jauh dari kemampuanku memahami. Banyak peristiwa-peristiwa terjadi seperti tanpa alasan. Semua perkiraan, perhitungan, bahkan ramalan seperti tidak ada gunanya.
“Kau tahu, Qfwfq? Bursa Wall Street ditutup di angka 2%, bukan 6%. Dan bangunan di Via Cassia, yang masih disengketakan berkaitan dengan IMB-nya, sudah berdiri. Dua belas lantai, bukan sembilan seperti tebakanmu. Oh iya, pacuan kuda itu dimenangkan Nearco IV di dua putaran terakhir. Jadi, berapa total kemenangan kita, Qfwfq?”


*) diterjemahkan oleh Janoary M. Wibowo

No Response to "Berapa Banyak Kita Bertaruh?"

Posting Komentar