Buku Warna Langit

: Kesialan
Kesialan adalah tak kunjung menemukan apa yang dicari. Lintang merasa sial hari ini. Sudah dua hari, dia baru sampai halaman 26. On Love karya Alain de Botton terlalu sulit dipahaminya. Dia tak pandai berbahasa Inggris. Dia tertarik untuk membacanya karena seorang teman. Lintang pernah membincangkan cinta dengannya. Kita akan benar-benar mengetahui suatu saat nanti seseorang yang tulus mencintai dan itu yang disebut jodoh, kata Lintang padanya.  Lalu teman itu menyarankan Lintang membaca karya Alain de Botton itu. Kau akan menemukan hal baru tentang cinta di buku itu, katanya. Namun Lintang hanya menemukan ebook berbahasa Inggris. Sial.

Siang yang mendung. Tapi gerah. Kepalanya penuh dengan kata-kata bahasa Inggris. Kata-kata yang terlalu sulit Lintang pahami. Kata-kata yang terlalu banyak kemungkinan makna. Kepalanya penuh dengan kemungkinan. Mungkin tembikar yang meleleh. Mungkin lilin yang berbentuk toples. Mungkin juga jenis-jenis wadah yang bisa meleleh, arti yang pas untuk variety of melting pot. Makin banyak kemungkinan makin sulit dipahami. Makin banyak kemungkinan makin membuat cemas. Sial.

Mencoba menampik kesialan, Lintang membaca lagi pesan singkat dari kekasihnya, obrolan-obrolan yang terekam. Obrolan-obrolan dengan kekasihnya kerap membuatnya tersenyum. Lintang butuh tersenyum. Akhirnya ada senyum di wajah Lintang. Paling tidak sampai Lintang membaca lagi pesan singkat itu. Tunggu kejutan yang kusiapkan untukmu. Begitu pesan singkat itu terbaca. Kejutan apa? Kekasih akan memberikan kejutan yang menyenangkan. Tapi kejutan apa? Sial. Ternyata keingintahuanlah yang membawa kecemasan. Lintang kembali cemas. Apalagi mendung itu. Bagaimana jika nanti malam hujan? Bagaimana jika kejutan itu urung terjadi? Ah, menyebalkan. Siang yang mendung. Tapi, gerah. Cuaca yang menyebalkan. Kecemasan yang menyebalkan. Tidur siang pasti menenangkan. Lintang merebahkan diri. Memejamkan matanya. Berusaha menutup diri dari kecemasan dan kesialan.


: Keberuntungan
Keberuntungan adalah menemukan yang dicari. Dan Abe merasa beruntung siang ini. Dua hari dia mencari buku itu. Berjalan dari kios ke kios di pasar buku bekas. Membolak-balik tumpukan buku di sana. Itulah usaha terakhirnya. Sebab dia sudah mencari di semua toko buku di kotanya. Ternyata tak ada. Buku itu bersampul biru, seperti langit. Abe terus mencari di rak novel terjemahan. Di kios paling ujung. Kios terakhir. Dan Abe merasa beruntung siang ini. Ternyata dia benar. Dia memang beruntung. Senyum di wajahnya. Buku berwarna biru langit di tangannya. Tentang Cinta, sebuah novel, Alain de Botton. Begitu kata-kata di sampulnya.

Siang menuju sore. Langit mendung. Kendaraan-kendaraan melintas cepat di jalanan, seperti ingin bergegas pulang. Tidak dengan Abe. Kemenangan dan keberuntungan ini terlalu indah. Tak perlu tergesa menikmati kemenangan. Hari masih siang. Langit hanya mendung. Jika pun turun hujan, buku itu masih terbungkus plastik. Aman tersimpan di jok motornya. Jika pun turun hujan, Abe masih mau menikmati kemenangan pelan-pelan. Tak ingin tergesa.

Tetes hujan belum turun. Bahkan setelah Abe memasukkan motornya ke garasi. Langit masih saja mendung. Hanya mendung. Itu keberuntungan. Dibukanya jok motor, diambilnya bungkusan itu. Tentang Cinta, sebuah novel, Alain de Botton. Masih kata-kata yang sama. Masih tentang cinta. Ya, memang tentang cinta. Cinta adalah bahagia. Beruntung sekali Abe mendapati cinta mampir di hatinya. Bayangan tentang senyum yang mampir di wajah Lintang pun makin membuatnya merasa beruntung. Ini hari apa? Abe bertanya kepada diri sendiri. Hari yang spesial. Abe menjawab sendiri pertanyaannya. Dia tertawa.

: Kekalahan
Kekalahan adalah mendapati diri masih cemas, bahkan setelah tidur siang. Lintang masih cemas. Sebab langit sore masih saja mendung. Bagaimana jika hujan turun nanti? Padahal, malam nanti malam spesial. Hari jadi itu hari spesial. Kecemasan Lintang seperti mengingatkan tak ada yang benar-benar spesial. Sial, pikir Lintang. Lintang masih merasa cemas. Lintang kalah oleh kecemasannya sendiri.

Jika dia masih kalah setelah tidur siang, mungkin dia akan menang setelah mandi. Lupakan sejenak On Love. Lupakan sejenak malam spesial. Alain de Botton dan hari jadi hanya sementara, pikir Lintang. Mandi bisa jadi selamanya. Ya, Lintang suka mandi. Bisa jadi, Lintang cinta mandi. Mandi itu membersihkan diri. Mandi itu mendinginkan kepala. Kepala yang penuh dengan kekalahan. Lintang beranjak ke kamar mandi. Berniat mandi berlama-lama. Jika kekasihnya datang, biarkan dia menunggu. Cinta itu menunggu. Jika kau mencintaiku, relalah menungguku mandi. Jika kau mencintaiku, relalah menungguku ganti baju. Jika kau benar-benar mencintaiku, relalah menungguku. Begitu pikir Lintang. Dan selama ini, kekasihnya memang sangat tabah menunggu. Tabah mencintai Lintang. Bagaimana bisa aku tak mencintai laki-laki macam itu. Bagaimana bisa aku tak kalah dicintai laki-laki seperti itu, pikir Lintang.

Ritual mandi selesai. Entah berapa lagu Lintang nyanyikan di kamar mandi. Lintang tak peduli. Seperti cinta, mandi tak perlu logika. Tak perlu dipikirkan berapa lamanya. Dirasakan saja, pikir Lintang. Dan kini, Lintang harus menunggu. Menunggu kekasihnya datang menjemput. Tapi, menunggu tanpa melakukan apa-apa itu membosankan. Lintang sedang tak ingin bermain dengan kebosanan. Dia buka kembali laptopnya, halaman 26 On Love. Lintang berjudi. Siapa yang akan kalah? Ketenangan yang sudah dia dapat selepas mandi atau keputusasaan menerjemahkan kata per kata. Tapi, Lintang hanya mengisi waktu sembari menunggu. Sambilan. Berangan-angan pun sambilan. Lintang berangan-angan kekasihnya datang membawa novel On Love versi terjemahan. Dia tertawa. Betapa konyol khayalannya.

Ting tong! Bel pintu depan berbunyi. Itu pasti kekasihnya, pikir Lintang. Dia menghentikan kegiatannya. Bergegas berganti pakaian. Berdandan. Menyemprotkan parfum ke tengkuk dan pergelangan. Berusaha tampil cantik dan menawan. Tapi Lintang cemas usahanya gagal. Namun, cinta adalah menunggu. Jika kekasihnya harus menunggu, biarkan dia menunggu.

: Kemenangan
Kemenangan adalah tak merasa cemas, bahkan setelah mendapatkan panggilan baru. “Aku tidak ingin memanggilmu Alvian atau Bagas. Terlalu banyak orang yang memanggilmu seperti itu.” kenang Abe. Kala itu kelas 1 SMA, Lintang dan Abe—dipanggil Alvian di sekolah dan Bagas di rumah—duduk berdua di kantin. Lintang dan Abe saling mengenal sejak kecil. Dan masih sering bertukar kabar sampai sekarang. Bisa jadi waktu yang mendekatkan mereka. Tapi, Abe percaya kedekatan tak pernah cukup. “Aku akan memanggilmu Abe.” kata Lintang tanggal ini bulan ini tiga tahun lalu. Sejak itulah, Abe selalu merasa menang jika bertarung dengan cinta. Ya, kemenangan itu hanya soal sudut pandang.

Buku bersampul langit itu dibungkus kertas kado. Bagi Abe, mendapatkan yang dia inginkan adalah kemenangan. Kemenangan perlu dirayakan. Dan perayaan perlu dibuat indah. Perlu kertas kado dan pita. Buku sudah nampak cantik. Sekarang tinggal aku, pikir Abe. Beranjak dari kamarnya, Abe ke kamar mandi. Mandi hanya ritual membersihkan diri. Setelah debu jalanan menempel, tubuh perlu dibersihkan. Tak lama, ritual mandi selesai. Abe bersiap. Buku warna langit sudah di tangan dan senyum masih di wajah. Tapi mendung masih nyaman di langit sore. Lebih mirip langit petang.

Lalu diambilnya kunci motor di atas rak buku. Rokok dan korek juga di sana. Namun sengaja ia tinggalkan. Lintang tak suka melihat Abe merokok. Abe tertawa. Menyadari betapa konyol alasannya. Tak membawa rokok hanya karena Lintang tak suka melihatnya merokok. Cinta selalu konyol. Ya, konyol.

: Senyum
Senyum adalah menunggu pintu dibuka. Ting tong! Bel pintu depan berbunyi. Abe berdiri di depan pintu rumah Lintang. Menunggu. Cinta memang kerelaan menunggu. Menunggu itu tak menyenangkan. Bisa membuat terluka. Tapi, cinta juga kerelaan dilukai dan melukai. Abe masih rela menunggu. Rela untuk tabah menunggu. Walau dia tahu ketabahan itu menyedihkan, tapi yang menyedihkan itu tak selalu buruk. Apalagi, hari ini adalah hari kemenangan Abe.
Abe benar-benar menang. Tak lama dia menunggu, pintu sudah terbuka.

“Eh, Abe.” Ibu Lintang membukakan pintu.

“Selamat malam, Tant.” Sejak siang tadi, Abe memang belum berhenti tersenyum. Bedanya, kali ini senyuman itu ditujukan untuk Ibu Lintang.

“Malam, mau ketemu Lintang ya?”

“Iya, Tant. Lintangnya ada?”

“Aduh, Lintang baru aja pergi sama Jay.”

“Oh, kalo begitu Abe titip ini, Tant. Buat Lintang.” Buku warna langit berbungkus kertas kado dan pita disodorkan. Abe pamit.

Pintu ditutup. Abe beranjak pulang. Buku warna langit itu akan membuat Lintang tersenyum. Abe pun tersenyum. Masih merasa menang.

Oktober 2010

No Response to "Buku Warna Langit"

Posting Komentar