Sayat

Pagi yang alot, seperti sate kambing. Di balik bungkus tusuk sate, kubaca pelan-pelan aturan pakai. Pergi ke dokter gigi sebaiknya tiap enam bulan sekali. Jika pusing berlanjut, baca lebih pelan lagi. Tapi, Bu. Ini sudah bulan ketujuh dan hatiku sudah berlubang. Terlalu lama memeram yang pikirmu manis tapi sebenarnya mengikis, kata Ibuku geram. Mengapa hati kaubiarkan berlubang, katanya. Sate hati dan larutan garam baik untuk makan siang. Siapkan arang, katanya. Bakarlah sekarang!

Sore yang pusing, kebanyakan sate kambing. Aku tidur siang. Dan hujan sejak siang. Sekarang hari sudah petang. Tapi di kamar mandi masih terdengar rintik hujan, air mata dendeng daging sisa yang belum termakan. Takdir berkata aku dilahirkan vegetarian. Tapi aku tak percaya. Sebab aku suka telur. Apalagi mata sapi setengah matang. Mata yang disembelih atas nama cinta pagi tadi. Disembelih sampai berdarah. Cinta yang menyembelih. Cinta yang suka darah. Cepat, Sayang. Asah parang. Masih ada cinta, dan waktu dua hari untuk bunuh diri.

Malam yang dingin. Tapi kolesterol membuatmu telanjang. Di sela-sela ketiakmu, aku menyulut rokok. Kuhisap dalam-dalam, lalu kuhembuskan panjang. Jika kurang panjang, tambahkan sate kambing lagi ke ranjang. Ternyata membakar tubuh itu enak. Lebih enak dari benak yang sadar. Lupakan sate kambing. Lupakan ranjang. Tak usah pusing-pusing mencari arang. Ini tubuhmu. Itu tubuhku. Dan malam yang dingin, bakarlah semua bersamaan. Sembari kita tunggu tahun depan, tubuh mana yang bermain Ibrahim, mana yang dipanggil Ismail.



Cepu, 6 November 2011

No Response to "Sayat"

Posting Komentar