Berry Squash


Satu sendok makan coklat, dua sendok makan krim bubuk, dan satu sendok makan gula dia aduk di sebuah cangkir. Segelas coklat hangat. Senyum di wajahnya selalu mengembang. Kadang sulit membayangkan, bagaimana bisa orang tetap tersenyum dengan gerakan tubuh secepat dan sesibuk itu. Kadang disertai juga dengan obrolan. Sebagai seorang barista, sepertinya Aya sudah terlatih melakukan semua itu. Seperti saat ini, Aya terlihat terlatih menutupi keinginan bunuh diri.
Sekitar sebulan lalu, seorang laki-laki duduk di bar café. Berumur 40 tahunan. Nampak matang dan tampan. Dia membuka-buka buku saku bersampul hitam yang dia bawa. Dia memandang lekat foto yang dia selipkan di buku itu. Seperti sedang mengenang sesuatu. Tepat di depan laki-laki itu, Aya masih sibuk dengan sendok dan cangkir, menyiapkan pesanan customer sebelumnya.
“Sudah menentukan pesanan?” tanya Aya, dengan keramahan yang khas. Laki-laki itu terhenyak. Lalu tersenyum.
“Malam yang gerah. Ada saran?”
“Berry squash.” Aya melihat ke arah laki-laki itu sejenak. Lalu berpaling lagi ke arah gelas di depannya. Mengaduk racikan chocoberry.
“Baiklah.” kata laki-laki itu datar. Matanya masih menatap foto di tangannya.
“Setelah ini.” Aya mengambil nampan, meletakkan chocoberry di sana. Lalu beranjak ke meja di ruang tengah café. Senyum di wajahnya selalu mengambang.
Lemon diiris. Sekaleng soda dari lemari es sudah ada di depan Aya. Juga botol sirup strawberry. Lebih merah daripada kaos Aya kala itu. Kaos merah muda. Air perasan lemon dan soda dimasukkan ke dalam gelas.
“Godaan terberat dalam hidup adalah keinginan bunuh diri.” Laki-laki itu berkata. Entah kepada siapa. Buih soda naik ke permukaan. Meletup-letup kecil. Mengantar asamnya air lemon ke lidah Aya. Lidah yang tiba-tiba kelu. Bingung bagaimana menanggapi pernyataan yang dilontarkan laki-laki itu. Aya hanya ingat pesan Mbak Vina, manager café. Barista harus ramah pada customer.
“Hidup itu permainan yang harus dimainkan dengan bahagia,” Aya menuangkan dua sendok sirup strawberry ke dalam gelas. Merahnya seperti berusaha memaniskan asam air lemon. Lalu es batu seperti menahan buih soda untuk meletup. Sedotan. Dan irisan lemon sebagai penghias.

“Berry squash.” Entah darimana Aya mendapat intonasi itu. Keramahan barista yang menarik. Juga terlatih. Di balik keramahan itu, tak ada yang menyangka kini Aya tergoda cutter di kamarnya. Selalu dipandanginya setelah pulang kerja. Selalu dibayangkannya menyayat pergelangan tangan.
“Terima kasih. Namaku Hilmi.” Laki-laki itu memperkenalkan diri. Foto itu diselipkan kembali ke halaman buku saku. Buku saku yang lalu dimasukkan di saku jaketnya. Perempuan yang menarik, pikirnya. Merah sirup strawberry di dasar gelas diaduknya. Bercampur dengan air lemon dan soda. Gelas itu berwarna sama dengan kaos Aya.
“Aya.” Senyum di wajahnya selalu mengembang.
“Kau sudah memainkannya dengan bahagia?” tanya Hilmi setelah menghirup Berry Squash-nya. Tangan Aya sibuk membersihkan meja dari tetesan air dan bekas irisan lemon. Selalu menjaga kebersihan, pesan Mbak Vina yang lain.
“Apanya?” Aya bingung.
“Hidup.”
“Oh. Aku masih belajar memahaminya.”
“Semoga kau tidak gagal memahaminya seperti aku gagal memahami perempuan.” Aya tertawa. Saat itu, tak pernah terbesit di kepala Aya. Begitu mudahnya hidup runtuh. Begitu rentannya hidup. Dan begitu menggodanya cutter yang tergeletak di kamarnya.
Di minggu yang sama dengan kedatangan Hilmi, Mbak Vina duduk di sofa. Di ruang tengah café, di dekat rak buku. Setelan yang ia pakai membuatnya nampak lima tahun lebih muda malam ini. Tidak hanya malam ini. Setiap malam Mbak Vina nampak lebih muda dari umurnya. Usianya menginjak 41 tahun, mungkin 42. Mbak Vina memang ahli soal berdandan. Seperti ia mendandani café ini hingga menyerupai rumah. Dan dia sedang duduk di sofa. Seperti tuan rumah yang menyambut tamu-tamunya.
Pak Galang duduk di samping Mbak Vina. Laki-laki yang masih cukup gagah di usianya yang sudah setengah abad. “Kopi.” Aya menyuguhkan secangkir. Intonasi yang khas. Pak Galang tertawa. Mbak Vina tertawa.
“Dia customer spesial malam ini, Ya. Jangan samakan dengan pelanggan lain.” Mbak Vina menggoda.
“Ah, customer tetap customer, Mbak.” Aya ketus. Pak Galang tertawa. Mbak Vina tertawa. Aya menggeloyor kembali ke bar.
Setengah jam kemudian, Mbak Vina dan Pak Galang berjalan ke arah bar. Racikan chocomilk di depan Aya. Laki-laki itu mendekat, ke depan Aya. Kursi bar kosong. Pak Galang duduk dan tersenyum. Memandangi Aya. “Papa mampir untuk memastikan kamu tidak merepotkan Mbak Vina.” Pak Galang berkata. Aya tak mengalihkan pandangannya dari cangkir di depannya. Mbak Vina berdehem. Aya mendongak. “Aku tidak merepotkan Mbak Vina.” Aya mengaduk adonan makin keras. Aya memang dekat dengan Papanya. Bahkan mengaguminya. Papa yang baik. Selalu mendukung keinginannya untuk hidup mandiri. Bahkan saat Aya memutuskan untuk bekerja sambil belajar mewujudkan mimpinya. Mempunyai café sendiri. Hanya saja, Aya tak senang ketika papanya sering mampir. Aya merasa seperti diawasi. Bagaimana bisa mandiri?
Mobil itu diparkir di depan café. Dua perempuan berdiri di sana. Satu laki-laki yang cukup tua namun masih nampak gagah. Dari mobilnya, laki-laki itu bukan laki-laki sembarangan. Dia memang kontraktor besar di kota ini. Salah satu yang terkaya. Aya berpelukan dengan papanya. Pak Galang masuk ke mobil. Mbak Vina bergerak ke sisi lain mobil, berpamitan. Mengatakan anaknya tiba-tiba demam. Mungkin karena musim hujan mulai datang.
Mbak Vina menumpang pulang. Aya diminta untuk menjaga café malam itu. Bukan karena Aya barista kesayangan. Melainkan karena bisa dibilang, café itu sebagian milik Aya. Mbak Vina membangun café itu dengan uang pinjaman dari Pak Galang, papa Aya. Mesin mobil menyala. Mobil melaju. Aya melihatnya sampai jauh. Namun, kini Aya tak pernah mau berpikir jauh. Hidup terlalu cepat melaju. Aya merasa tak mampu bergerak. Kenyataan hidup melindasnya.
***
Satu sendok makan coklat, dua sendok makan krim bubuk, dan satu sendok makan gula dia aduk di sebuah cangkir. Segelas coklat hangat. Senyum di wajahnya selalu mengembang. Kadang sulit membayangkan, bagaimana bisa orang tetap tersenyum dengan gerakan tubuh secepat dan sesibuk itu. Kadang disertai obrolan yang ramah. Tak ada yang menyangka di balik keramahan itu ada yang runtuh.
Dua jam lalu Hilmi datang lagi dan duduk di bar. Seperti pertama kali.
“Berry squash.” Kata-kata Hilmi kali ini datar. Begitu serius. Buku saku bersampul hitam itu masih di tangannya. Kali ini genggaman itu begitu erat. Buku itu tertutup. Tapi di wajah Hilmi, kemurungan nampak seperti kenangan-kenangan yang terbuka.
“Ditunggu.” Intonasi khas Aya. Lemon, sekaleng soda, dan sirup strawberry. Es batu menahan buih untuk meletup.
Sedotan hitam. Irisan lemon di atas gelas. Es batu. Dan sirup berwarna merah di dasarnya. Juga buih-buih soda tertahan es batu di permukaan. Berry squash siap disajikan. Aya mengangkatnya. Dia melihat mata Hilmi. Bersiap berkata dengan intonasi khasnya. Hilmi sudah berkata terlebih dahulu. Seperti pertama kali.
“Godaan terbesar dalam hidup adalah keinginan bunuh diri.” Mata mereka bertatapan. Aya merasa takut. Seperti tak menunggu tanggapan, Hilmi melanjutkan. “Dan di buku inilah godaan terbesar yang aku bangun. Semua ada di buku ini. Maukah kau menerimanya? Aku tak ingin bunuh diri. Maka kuberikan padamu. Bakarlah buku ini jika kau mau. Bacalah jika kau penasaran. Kau adalah perempuan yang aku banggakan.” Tangan Aya gemetar meletakkan Berry squash di depan Hilmi.
Hilmi beranjak tanpa menyentuh minuman pesanannya. Dia meletakkan selembar uang lima puluh ribuan di atas buku saku bersampul hitam itu. Aya kebingungan. Diambilnya uang itu, dimasukkan ke laci kasir. Dibukanya buku itu.
Sebuah foto Pak Galang dan Mbak Vina di lobi sebuah hotel. Senyum mereka nampak asli. Tak seperti senyum yang selalu mengembang di wajah Aya.
Sebuah foto kumal. Hilmi dan Ibu Aya. Mereka masih nampak muda.
Foto-foto itu terselip di halaman. Di sana ada sobekan kertas yang bertuliskan. Temuilah anakmu di café milik Vina. Kau akan bangga padanya. Dan kini, Aya memahami hubungan buku sampul hitam itu dengan perkataan Hilmi. Godaan terbesar dalam hidup adalah keinginan bunuh diri.
Satu sendok makan coklat, dua sendok makan krim bubuk, dan satu sendok makan gula dia aduk di sebuah cangkir. Segelas coklat hangat. Senyum di wajahnya selalu mengembang. Aya mengangkat cangkir dengan tangan kirinya, menghirup coklat hangat itu. Di tangan kanannya, cutter nampak begitu menggoda ketika hidup begitu runtuh.

November 2011.

No Response to "Berry Squash"

Posting Komentar