Sampai Galau Sampai*

*) notulensi diskusi sebagai wakil yang tak pernah bisa menggantikan kegiatan Diskusi Sastra Pojok Pendopo Open Mind Community

Minggu sore, selepas hujan, Taman Budaya Raden Saleh. Jika kalender itu tidak salah, sore itu adalah tanggal 8 Januari 2012. Dan Open Mind Community menyelenggarakan agenda pertamanya di tahun 2012. Diskusi Sastra Pojok Pendopo #31, Musyafak, dan Sampai Mana Sampai. Ya, begitulah tajuk diskusi, penyair sekaligus karya yang didiskusikan.


SAMPAI MANA SAMPAI

tak benar-benar sampai telingamu. bisik yang dititipkan di lengung terakhir baling-baling kipas. dan senyap berangkat bersama kedip terakhir monitor yang sejak berjam lalu menipu matamu. sepertinya takkan sesederhana itu tubuhmu memadamkan lampu.

malam dan pagi berdempuk. di pejam pertama, waktu terpuruk. begitulah mimpi membuatmu mengerti: hidup selalu tertunda dan retak di jarum jam yang terus mendetak.

adakah yang berhenti jika jeda hanya perjumpaan pendek dengan sunyi?

sebagaimana tak lama lagi siang kembali. melesakkan ponsel dan komputer ke tubuhmu: mengoyak dadamu, mengacak kepalamu, membajak matamu, menyalak telingamu. dari dinding kabel-kabel menjulur dan mengikat tangan-kakimu.



*****
Janoary M Wibowo memulai diskusi. Dengan kertas kopian puisi Musyafak di tangan kanannya, dan rokok di tangan kirinya, Jano, begitu dia akrab dipanggil, memaparkan istilah technetronic etnocide. Pembunuhan sebuah peradaban yang dilakukan oleh teknologi elektronik. Iya, pria berkacamata itu membaca langsung ke bait keempat puisi Musyafak. Ponsel dan komputer itu, sepertinya semakin menjauhkan manusia dari kemanusiaannya. Lalu, Ahmad Fauzi, menambahkan. Menurut yang dia ketahui, teknologi dan segala yang dihasilkannya pada mulanya untuk membantu manusia. Manusia menyadari keterbatasannya jika dibandingkan alam. Oleh karena itu, manusia menciptakan alat, teknologi itu sendiri. Namun, makin ke sini, alat-alat itu semakin menguasai manusia. Manusia makin terbatas. Jika tanpa alat-alat itu, manusia seakan merasa lemah-selemah-lemahnya. Fauzi menganalogikan sebagai pahlawan yang dulunya membebaskan kini malah berbalik membatasi. Ya, teknologi itu pahlawan yang berkhianat, pahlawan yang berbalik menyerang.

Rambutnya panjang, bergelombang, dialah Kurniawan Yunianto, biasa dipanggil Kaye. “Sekarang, siapa sih yang mau repot?” katanya. Seperti bermain gundu, ada istilah wang cuk wang in. Begitulah bagaimana orang dahulu bertamu. Tetap berangkat dari rumah ke rumah yang dituju dengan niat bertamu. Si tuan rumah ada di rumah atau tidak saat itu (tamu tidak tahu karena belum ada telepon) menjadi persoalan lain nantinya setelah sampai di rumah yang dituju. Namun, kini, terkadang tamu sudah ‘sampai’ ketika belum berangkat. Ya, berkirim pesan dengan si tuan rumah, lalu berkata akan bertamu. Jika si tuan rumah sedang tidak ada di rumah, maka si tamu mengurungkan niat untuk bertamu. Di sanalah ‘sampai’ itu. Ya, ‘sampai’ yang belum sempat berangkat.


Sampai Mana Sampai (boleh jadi) adalah puisi. Tiap puisi membawa makna tersendiri untuk pembacanya. Makna itu dibawa oleh tanda. Tanda yang berupa kata. Guri Ridola, penyair muda yang pernah berambut gondrong—kini tidak lagi, membaca puisi Musyafak dari kacamata lain. Kata-kata yang ditampilkan Musyafak dalam puisinya menunjukkan betapa lihai sang penyair memilih benda-benda di sekitarnya untuk menjadi tanda yang membawa makna. Ada kipas angin, monitor, jarum jam, ponsel, dan komputer. Namun, puisi ini tidak sekadar tentang teknologi. Tentang sebuah perjalanan. Tentang sebuah ‘sampai’. Tentang tujuan itu sendiri.

Mas Ipunk, begitu kawan-kawan Open Mind Community biasa memanggil pria berkacamata yang bernama lengkap Purwono Nugroho Adhi, mencoba membaca puisi Musyafak dari kacamata yang lain lagi. Puisi-puisi yang berkembang dewasa ini, menurutnya, bisa digolongkan sebagai modern poetry. Ciri khas modern poetry, tambahnya, adalah intertextuality, maximalisme, dan distopia. Selalu ada unsur personal dalam modern poetry. Itulah mengapa modern poetry bisa juga disebut sebagai confessional poetry, lanjut pria yang kesehariannya bekerja di Jogja tapi bertempat tinggal di Semarang. Tiba-tiba Musyafak, ikut nimbrung. “Ada kebocoran dari diri penyair ke puisinya.”

“I don’t hate people, I just feel much better when they’re not around.” Begitulah kata Charles Bukowski. Menurut Mas Ipunk, Bukowski adalah salah satu penyair “penganut” modern poetry, confessional poetry. Ada complain di sana. Ada keluhan. Jika menggunakan bahasa anak sekarang, modern poetry adalah puisi galau. Menampilkan kegalauan penyairnya. “Apakah Musyafak sedang galau ketika menuliskan puisi ini?” tanya Mas Ipunk. Musyafak menjawabnya dengan terbahak.

Janoary, setelah menyibakkan rambutnya yang makin panjang, melanjutkan. “Dari judulnya, ada kegalauan yang terbaca.” kira-kira begitu katanya. Sampai Mana Sampai. Seperti ada pertanyaan yang tersirat di dalam judul itu. Sampai Mana? Namun, jawaban pun disertakan di sana. Mana (pernah) Sampai. Ya, puisi ini bisa dibaca dengan berbagai kacamata. Tentang sebuah perjalanan. Yang entah kapan sampai. Atau bahkan takkan pernah sampai. Guri menyanggah pernyataan Jano. Menurutnya, judul itu lebih nyaman dibaca sebagai ‘sampai’ itu dimanapun. Sampai mana? Sampai di Sampai. Begitulah menurut Guri. Pembaca bebas mengartikan. Itulah menyenangkannya mendiskusikan puisi. Seperti biasa, Diskusi Sastra Pojok Pendopo adalah diskusi (yang terkesan) ngawur. Namun, Open Mind Community (seakan) bersepakat bahwa ngawur pun perlu dijalani dengan serius.

Seserius Musyafak menjawab pertanyaan Mas Ipunk tadi. Entah menjawab atau menanggapi. Kegalauan, jika memang dikatakan begitu, yang tersirat dalam puisinya hanyalah kebersaatan. Puisi adalah kebersaatan itu sendiri, menurut Musyafak. Sebocor apapun penyair dalam puisinya, puisi itu hanya mengacu pada suatu kebersaatan. Bisa jadi Musyafak berkeluh kesah tentang sesuatu dalam hidupnya kala itu, kala puisi Sampai Mana Sampai itu dibuat. Tapi apakah keluh kesah itu masih bisa dikembalikan ke diri Musyafak saat ini—yang sedang berdiskusi sambil menghisap Wismilak Diplomat-nya? Bukankah selalu ada gerakan, bahkan saat kita berdiam diri? Musyafak yang menulis puisi itu dan Musyafak yang berdiskusi bisa jadi sudah mencapai ‘sampai’ yang berbeda. Begitulah kira-kira sang penyair berargumen.

Budayawan Agung Hima, yang baru saja merayakan kelahiran anak keenamnya ambil suara. Lelaki tambun pun ganteng itu berkomentar. “Dari keempat bait puisimu ini, yang paling kuat adalah bait ketiga.” katanya. Walau hanya sebaris, namun kekuatan nampak dari sana. “Yang lainnya, masih biasa saja.” tambah Agung Hima, dengan candaan khasnya. Open Mind Community merindukan gelak tawa yang sering dimunculkan Agung Hima dengan candaan-candaan macam itu.

Mungkin di bait ketiga itu Musyafak ingin berdialog dengan penyair lain. “Jika ingin tiba, maka berhentilah.” kata penyair itu. “Adakah yang berhenti jika jeda hanyalah perjumpaan pendek dengan sunyi?” kata Musyafak. Maka mari melanjutkan. Sampai Mana? Sampai Mana Sampai. Seperti yang dikatakan Musyafak kepada Janoary M Wibowo melalui pesan dinding-nya beberapa hari lalu. “Selamat melanjutkan, meski banyak ujung jalan adalah hal yang tak usai.”

Salam budaya,

NB : Notulensi ini masih jauh dari "menggantikan" diskusi. Jika ingin merasakan diskusi Open Mind Community, silakan datang pada agenda berikutnya

No Response to "Sampai Galau Sampai*"

Posting Komentar