Tidak (Melulu) Tragedi

*)ulasan impresif tentang film Stranger Than Fiction, sebagai periuh Bincang-Bincang Minggu #12 Open Mind Community.

Apapun yang dikatakan atau dipikirkan tentang sesuatu di suatu masa akan menjadi narasi itu sendiri. Barangkali, tersebab itulah Luc Herman dan Bart Vervaeck menyatakan “No single period nor society can do without narrative” (Handbook of Narrative Analysis; 2005). Sebuah peristiwa akan menjadi cerita itu sendiri. Peristiwa ditampar oleh kekasih yang marah barangkali menjadi sesuatu yang menyesakkan ketika itu terjadi. Namun, bagaimana jika peristiwa itu sudah terlewat? Itulah cerita. Dan, saat peristiwa telah menjadi cerita, itulah suatu masa bisa diceritakan. Ketika itu, pandangannya penuh dengan kemarahan. Lalu plak!


Lalu apa jadinya jika suatu masa diceritakan tepat ketika itu terjadi? Ada narator yang bercerita tentang menggosok gigi tepat ketika peristiwa menggosok gigi itu terjadi. Ada narasi yang dibacakan tentang bagaimana rasanya jatuh cinta tepat ketika peristiwa memandangi wanita cantik tengah berlangsung. Janggal. Mengganggu. Barangkali itu yang dirasakan Harold Crick (film Stranger Than Fiction; 2006). Dalam film tersebut, diceritakan bagaimana kebingungan Harold ketika dia melakukan sesuatu, ada suara yang mengatakan bagaimana dia melakukannya.
  
It’s not schizophrenia. The voice’s not telling me what to do. It’s telling me exactly what I’ve done. Accurately. Even in better vocabulary.”


Harold begitu kebingungan ketika mengalami peristiwa sekaligus mendengar cerita dari peristiwa tersebut. Namun, di film besutan Mark Forster tersebut, kebingungan Harold tidak berhenti di sana. Bagaimana jika cerita mendahului peristiwa? Ya, di suatu Rabu sore, di pinggir jalan, narator menghubungkan antara berhentinya jam tangan Harold secara tiba-tiba dengan kematian Harold.

“Thus Harold’s watch trush him into the immigitible path of fate. Little did he know that this simple, seemingly innocuous act would result into his imminent death.”

Garis nasib memang tak dapat dihindari. Dan kematian pasti akan datang. Harold mungkin tahu hal itu. Namun, narator—barangkali bisa dikatakan dengan semena-mena—mengatakan bahwa Harold akan segera mati. Harold tak lagi terganggu oleh narator itu. Harold tak lagi bingung bagaimana bisa suara itu ada. Harold sekarang menjadi cemas karena mengetahui kematiannya sudah dekat. Barangkali begitulah kecemasan itu datang. Kita tahu apa yang akan segera terjadi. Dan kita belum cukup tahu bagaimana mengatasinya. Kita akan segera ditampar. Oh, kencangkan otot pipi. Kita akan segera mati. Oh, ini tragedi.

Little did he know
Film membuat apa-apa yang hanya bisa terjadi di imajinasi menjadi dapat dilihat. Peran film adalah untuk ada, begitulah ungkap Sean Cubitt (The Cinema Effects; 2004). Film seperti memberitahukan kita kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa terjadi. Stranger Than Fiction pun demikian. Sebenarnya film ini menceritakan tentang seorang auditor pajak, Harold Crick, dan penulis novel tragedi Karen Eiffel. Kehidupan nyata Harold—secara kebetulan—sama persis dengan novel yang sedang ditulis Karen. Harold adalah tokoh utama dalam novel Karen. Sebagai penulis novel tragedi, Karen biasa membuat tokoh utamanya mati di akhir cerita. Dan Karen sedang mengalami writer’s block, mampet ide, tentang bagaimana membuat Harold mati.

Harold tidak sedang menjalani peran sebagai aktor. Dia menjalani hidupnya. Barangkali, sebagai novel, kematian tokoh utama menjadi hal yang menarik. Namun, bagi Harold, kematian tetaplah kematian. Menakutkan. Tragedi itu sendiri. Apa? Hei? Apa? Mengapa mati? Begitu teriak Harold ketika mengetahui dia akan segera mati. Barangkali banyak diungkapkan dalam novel-novel masterpiece bahwa kematian itu indah. Kematian itu puncak dari segala rahasia hidup. Tapi, untuk apa mengetahui puncak rahasia hidup? Harold masih ingin hidup. My life is a parody of tragedy, begitu kata Shakespeare dalam Hamlet. Harold masih ingin menikmati parodi.

Little did he know, kalimat itu yang membuka tabir. Jules Hilbert, ahli sastra yang ditemui Harold, pernah membuat esai tentang little did he know. Kalimat itu, jika di-Bahasa Indonesia-kan mungkin “sedikit yang ia ketahui”, merupakan ruang bertanya untuk pembaca. Penulis menggunakan kalimat tersebut untuk membuat jalan cerita terkesan misteri. Tak terketahui. Little did he know adalah sudut pandang orang ketiga mahatahu. Narator dengan N besar. Narasi yang sama dengan nasib itu—bukan hanya sekadar awalnya. Baik Harold maupun Karen tidak tahu. Harold sudah mendengar kalimat itu sampai akhir. Sampai kata kematian. Dan Karen belum menemukan ide melanjutkan bagaimana. Betapa mencemaskan jika cerita mendahului peristiwa.

Tragedi menjadi Komedi

Stranger Than Fiction bukan film tragedi, hanya sebuah film tentang cerita tragedi. Dan tragedi itu bisa diubah menjadi komedi. Sean Cubitt dalam The Cinema Effect mengatakan, film menciptakan sensasi dan mengenalkannya kepada kita. Dan inilah yang Stranger Than Fiction ciptakan dan ingin katakan. Bagaimana mengubahnya? Film ini mengajak melihat salah satu kemungkinan, cinta. Ya, untuk mengubah tragedi menjadi comedi dibutuhkan cinta. Harold jatuh cinta dengan Ana Pascal—perempuan yang sengaja keluar dari Sekolah Hukum Harvard untuk membuka toko kue. Ana ingin mengubah dunia dengan membuat kue yang enak. Kue yang dicelupkan ke susu selalu berhasil mengubah hari yang melelahkan menjadi hari yang indah. Atau, mengubah tragedi menjadi comedi. Ah, sudut pandang yang menarik dari perempuan yang menarik. Barangkali dari sanalah, Harold jatuh cinta.

Ada cara lain mengubah tragedi menjadi comedi. Harold bertanya ke rekan sekantornya, Dave. Bagaimana jika kau tahu kau akan mati, segera? Dave menjawabnya dengan santai, pergi ke Space Camp, suatu tempat di Alabama yang begitu diinginkan Dave sejak umur sembilan tahun. Menghidupkan kembali harapan dan cita-cita. Masa kecil adalah tempat yang penuh harapan dan cita-cita. Dan, bagi Harold, cita-cita masa kecilnya adalah bermain gitar. Dia membeli Fender Stratocaster. Dia belajar lagi bermain gitar. Lalu terjadilah adegan yang penuh cinta. Ketika ia memainkan gitar—tidak mahir namun sepenuh jiwa—di hadapan Ana Pascal.

Yang menjadi menarik dari jalan cerita ini adalah siapa yang lebih berperan mengubah tragedi menjadi komedi? Harold hampir mati ketika dia mendorong anak kecil yang jatuh di jalan dan hampir tertabrak bis. Seperti yang diketikkan Karen dalam novelnya. Penulis dan tokoh utama mengalami peristiwa yang sama. Barangkali akhir jalan cerita ada di tangan penulis. Barangkali kecemasan Harold sudah hilang digantikan jatuh cinta. Parodi telah dia nikmati, dia merasa tak rugi jika mesti menerima tragedi.

Sekali lagi, Stranger Than Fiction bukan film tragedi. Ini hanya film tentang tragedi. Hilbert bertanya kepada Karen, mengapa kau mengubah akhir cerita? Mudah untuk membuat tokoh utama mati jika dia tidak tahu dia akan mati. Tapi, Harold masih berusaha meskipun dia tahu dia akan segera mati, bukankah itu tokoh yang kau ingin tetap hidup? Ana bertanya kepada Harold, mengapa kau mendorong anak kecil itu (padahal bis itu bisa membuatmu mati)? Aku tak punya pilihan. Aku harus.

Begitu indah. Tokoh utama tahu dia tak punya pilihan lain selain berusaha. Penulis pun menghargai kegigihan tokoh utama menjalani hidupnya. Ah, kita semua tokoh utama dalam hidup ini. Dan Narator dengan N besar menguji kegigihan kita menjalani hidup, mengubah tragedi menjadi komedi. Dan jika usaha untuk itu membuat kita tak bisa tidur, boleh kita mengutip dari puisi Insomia karya Cepi Sabre, Tuhan sedang berusaha mengurung saya dalam bayangan. saya harus jatuh cinta.

Aih!


28 April 2012

No Response to "Tidak (Melulu) Tragedi"

Posting Komentar