Aku dan Suwung

Aku tidak tahu. Tidak tahu berangkat dari mana. Bagaimana jika dari Polandia? Wislawa Szymborzka, penyair dari Polandia. Dalam menulis, kalimat pertama bukanlah yang tersulit katanya. Kalimat pertama sulit, kalimat kedua juga. Keenam ketujuh sama. Bahkan keberapa pun sama sulitnya. Ah, menulis itu. Tapi paling tidak, aku sudah dapat kalimat pertama. Aku tidak tahu. Lalu kalimat keduabelasnya?

Barangkali seratus kilometer per jam. Kereta itu melaju 100 km/jam. Mendahuluiku, yang mengendarai motor—kutengok jarum speedometer yang menunjuk angka 70. Di Kabupaten Bojonegoro tepatnya Baureno, beberapa kilometer sebelah barat Babat. Ya, Kecamatan Babat, Kabupaten Lamongan. Kecamatan Babat asal jajanan Wingko. Walau lebih banyak orang tahu wingko itu khas Semarang, Wingko Babad Semarang. Mengapa bisa seperti itu sejarahnya panjang. Lebih panjang dari kereta yang menyalipku tadi. Jadi, tak akan kutulis di sini. Ini catatan tentang kawan dan kenangan.

Ya. Kawan.

Kawan itu bernama Lina Kelana. Aku mengenalnya sebagai penyair. Puisi-puisinya dibukukan dalam Sepuluh Kelok di Mouseland, bersama sembilan penyair lain. Tapi entah kenapa Lina kerap menolak disebut penyair. Mungkin karena sekarang dia sudah menulis novel. Novelis jadinya. Suwung, judul novelnya. Baru aku dapat dan belum baca. Jadi, aku belum bisa bercerita. Cerita tentang perjalananku menemuinya dan perbincanganku dengannya saja.

Ah, suwung sekali perjalananku. Dari Cepu ke Lamongan, sendirian. Tapi kesendirian bukan hal yang menyedihkan. Yang menyedihkan adalah ketika kita memiliki cita-cita lalu seluruh keadaan di sekitar tidak mendukung. Berat. Seringkali membuat sedih. Ih! Tapi Lina itu energik. Perawakannya kecil. Mungil. Dan ih yang dia ucapkan, tidak terkesan sedih, cenderung gemes. Gemes memang jika punya gairah bergerak di sastra. Keadaan di sekitar jarang mendukung. Kira-kira begitu katanya. Lalu dia tertawa. Lalu sesendok es dawet masuk ke mulutnya. Enaknya! Tentu saja kami berbincang sambil makan. Juga sambil ditemani Ahsan. Temannya Lina. Temanku juga. Dia pesan mie. Aku pesan Soto Lamongan. Masa aku jauh-jauh ke Lamongan untuk pesan mie? Minumku es lemon tea. Menyegarkan. Seperti kalimat ini. Perbincangan bisa menanti, lapar tidak. Idealisme dan cinta bisa menunggu, perut mesti diisi dulu. Selamat makan!

Ah, suwung sekali paragrafku tadi. Kemana-mana. Seperti aku, Ahsan, dan Lina. Ngobrol pun, kami kemana-mana. Bertema-tema. Dari mulai geliat komunitas sastra. Ih, susahnya menggeliat di sastra. Lalu orang-orang pintar dan ternama. Untuk sampai taraf kepintaran itu, mereka baca buku dan makan apa. Juga media. Ah, media lagi. Tapi tak apa. Asal ada minum dan rokoknya. Tapi Lina tidak merokok. Aku dan Ahsan saja. Persamaan kami bertiga adalah, pertama, kami duduk semeja dan berbincang. Kedua, kami tertawa ketika Arif Fitra Kurniawan berbicara. Iya, penyair muda kenamaan Semarang itu ikut berbincang.
Dia tidak ada di Lamongan, tapi suara dan tawanya ada. Terima kasih kepada telepon. Arif Fitra itu lucu. Katanya, makanan khas Lamongan itu pecel. Aku, Ahsan dan Lina tertawa. Makanan khas Lamongan itu Soto Lamongan. Tapi Arif Fitra itu penyair sekaligus koki. Barangkali dia sudah mempelajari arkeologi kuliner kota Lamongan. Dia bilang pecel makanan khasnya. Kami tertawa. Lagi.


Perbincangan tak bisa lebih lama. Sudah petang. Perjalanan masih panjang. Lina Kelana dan Ahsan harus ke Surabaya, 1 jam di jalan dari Lamongan. Aku juga perlu pulang. Kurang lebih 3 jam perjalanan. Dan sebelum melanjutkan perjalanan masing-masing, kami berfoto. Untuk kenang-kenangan. Aku, Ahsan, Lina Kelana dan dua novel Suwung-nya. Satu untukku. Satu lagi untuk Arif Fitra. Ah, nama itu lagi. Haha. Kami bertiga tertawa lagi. Arif Fitra itu lucu. Mendengar namanya saja, kami bisa tertawa. Kawan yang bisa membuat tertawa itu patut dipertahankan. Mereka adalah penghasil kenangan-kenangan indah. Kadang kita tertawa karena kenangan. Kadang menangis. Ih, kenangan itu.

Ya. Kenangan itu.

Pukul delapan malam lewat sepuluh. Aku tahu. Ketika kulihat gerbang kota, kupelankan laju motorku. Kutarik ponsel di saku. Kulihat pukul berapa. Aku tak punya arloji. Ponsel adalah penunjuk waktuku. Dan Bojonegoro, di sini, bermukim kenangan-kenanganku. Sepuluh tahun lamanya. Sejak kelas tiga SD hingga lulus SMA. Gerbang kota. Jalanan dan lampu-lampu kendaraan. Melintaskan kembali semua kenangan. Ah, kali ini, kenangan menyebalkan. Teringat kata seorang penyair. Yang kebetulan seorang kawan. Ada yang terus berlintasan meminta dituntaskan. Ya, seketika juga kuputuskan. Kenanganku di kota ini mesti tuntas.

Ah, suwung sekali kota ini. Bukan karena jalanan sepi. Tapi karena aku tak punya kenalan lagi. Siapa yang akan kutuju? Terakhir berkunjung 5 tahun lalu. Rumah tempat tinggalku dulu pun sudah tak ada. Berubah menjadi jajaran ruko, katanya. Sengaja kulewati. Sudah menjadi Salon & Spa rupanya. Jikapun masih ada, toh aku tak kenal pemiliknya. Lalu kemana? Aku mengendarai motorku. Pikiranku mengembara. Aha. Café. Kubutuh café. Barangkali menyenangkan menuntaskan kenangan dengan segelas kopi. Berbincang dengan diri sendiri. Biarkan kenangan menjadi-jadi. Lalu mati. Kubayangkan seperti api, ketika tak ada lagi yang dibakar.

Ah, suwung sekali ide tadi. Berkendara pelan-pelan. Tak juga kutemukan café dan segelas kopi. Malah kulewati Toko Aneka Sari. Masih sama seperti dulu. Tempat aku merengek minta sepatu baru. Lalu kulewati ini. Kulewati itu. Juga sama seperti dulu. Ah, aku harus. Sekolah-sekolahku. Toko buku itu. Gang itu. Tidak banyak yang berubah di kota ini. Aku harus menuntaskan semuanya. Café, Mana café? Mana segelas kopi? Ah, ini lagi. Rumah perempuan itu. Cinta pertamaku. Lalu rumah perempuan itu. Terlalu banyak kenangan jika bicara perempuan. Terlalu panjang cerita jika mulai menyebut nama-nama. Bisa-bisa aku hanya berputar-putar di kota ini. Berputar di tempat. Tak berubah seperti kota ini. Ah, aku pulang saja.

Kutarik napas dalam-dalam. Kuhembuskan. Kuturunkan kaca helmku. Oh iya, malam itu gelap. Kunaikkan lagi kaca helm yang gelap juga itu. Lampu-lampu kota hanya menerangi jalanan. Tak pernah bisa menerangkan malam. Roda motorku terus berputar. Bukan kenangan. Tapi roda yang terus memutar. Setelah tadi sempat pelan, kutarik gas. Kuputar lebih kencang. Ngeng! Putar! Aku menembus malam.

Barangkali seratus kilometer per jam. Bukan kereta yang mendahuluiku. Bukan motorku—kutengok jarum speedometer menunjuk angka 70. Dari Kabupaten Bojonegoro, aku melaju pulang. Ya, Kecamatan Cepu Kabupaten Blora pulangku. Tiga puluhan kilometer dari Bojonegoro. Sebentar! Kuhitung dulu. Ah, pokoknya tiga puluhan itu. Juga seratus sembilan puluhan kalimat ini. Ah, juga empat belas ah di kalimat ini. Aku terlalu berputar-putar. Terjebak kenangan. Terlalu banyak mengeluh. Aku harus bergegas. Ngeng! Pulang!

Lalu, tadi itu kalimat keduaratus berapa? Aku tak tahu. Paling tidak, aku sempat menuliskannya. Menulis itu. Kalimat pertama, kedua, keenam, ketujuh dan keduaratus berapapun sama sulitnya. Tapi aku tidak sedang menulis seperti penyair-penyair itu. Aku sedang mengendarai motor, pulang. Setelah itu kemana? Bisa saja Polandia. Tidak tahu akan sampai mana. Aku tidak tahu.

Cepu, 4 Mei 2012

No Response to "Aku dan Suwung"

Posting Komentar