Kecapi Ujang

--catatan kecil tentang pengalaman tak terduga--


Tangan kanannya menjepit rokok, tapi masih saja terlihat lentik menari di senar-senar kecapi. Tembang mengalun. Dia mulai nembang. Bagi saya, suara orang nembang selalu begitu. Selalu saya hubung-hubungkan dengan Manthous. Dia legenda, kata Ujang, pengamen kecapi yang datang sore tadi. Satu lagu sudah rampung. Rokok di cepitan jari manis dan kelingkingnya habis tak terhisap. Dibuangnya putung rokok itu, diambil sebatang lagi. Dia menyulutnya lagi.

Di depan Star Comic Cepu, Otysta dan saya bercengkrama sebelum Ujang datang. Setelah Ujang menyelesaikan satu tembang, Otysta, yang sedari tadi manggut-manggut sambil berusaha mengikuti tembang, bertanya tentang kunci nada kecapi. Ujang, dengan senyum di wajahnya—satu lubang di sebelah kanan mulut karena ditinggalkan gigi nampak, menjawab titi laras. Aku tak begitu paham dengan apa yang dimaksud titi laras. Tapi aku mencoba menebak-nebak. Barangkali semacam harmonisasi. Titi itu mengingat, barangkali. Laras itu selaras. Barangkali teliti mengingat senar mana yang bersuara bagaimana, lalu memetiknya dengan selaras. Ah, aku hanya menebak-nebak tanpa sempat menanyakan. Ujang menghisap rokoknya. “Boleh minta air putihnya, Mas?” tanyanya. Saya sodorkan, lalu diteguknya.

Kecapi itu berdebu. Di bagian depan ada tulisan Dewa Ndaru, sedikit pudar. Dua puluh senarnya nampak usang dan tua. Kedua tangan Ujang menelungkup di atas senar-senar itu. Kubayangkan tangan-tangan itu sedang membelai sembari berkata kepada senar-senar, kalian istirahatlah dulu setelah satu lagu. Nanti kalian akan bermain lagi. Dan selagi senar-senar itu beristirahat, Ujang bercerita tentang pengalamannya ketika berkolaborasi dengan jenis musik lain. Senar kecapi ini memang senar gitar, tapi settingan gamelan. Jadi, jika ingin berkolaborasi dengan jenis musik lain, pemainnya harus tahu benar bagaimana mengkolaborasikan pentonis dan diantonis (semoga saya tidak salah dengar dan salah menuliskannya). Mendengar istilah itu, saya teringat Mas Kurniawan Yunianto. Dia pernah membincangkan pentonis dan diantonis itu. Tapi, sampai sekarang saya belum juga paham benar apa itu.



Saya tertarik dengan cerita-ceritanya. Apalagi ketika dia bercerita tentang tembang ciptaannya berjudul Kopi Kothok. Kopi kothok adalah kopi khas Blora. Barangkali bukan hanya minuman, itu sudah menjadi budaya. Bahkan pernah, dulu, ketika bercengkrama di gazebo samping rumah Kang Putu, saya diejek seorang kawan “Wong Blora kok ora iso ngothok kopi.” Saya teringat Kinan dan Titis—putri-putri kesayangan Kang Putu—seketika, mereka yang menemani saya mengalami pengalaman pertama ngothok kopi.

Iki cara budayane saderek Mblora
Ning kopinan kabeh patut

Minak rakyat melu katut

Inilah budaya orang-orang Blora. Di warung kopi semua boleh. Petinggi dan rakyat semua turut serta. Begitu penggalan lirik dari tembang Kopi Kothok. Semoga saya tidak salah mendengar dan menuliskan lalu mengartikannya.

Rokok di tangan Ujang sudah tandas lagi. Sebatang lagi tersulut. Dia lalu bercerita. Budaya Blora itu tidak bisa jauh-jauh dari warung kopi. Cerita-cerita berkumpul di sana. Orang-orang bertukar informasi di sana. Siapa yang kehilangan ternaknya, siapa yang menang lotre. Semua cerita ada di warung kopi. Siapa yang berhasil meniduri siapa. Siapa yang curiga istrinya ditiduri siapa. “Kadang melu diomongke neng warung kopi.” kelakarnya.

Rumah Ujang di Jepon, enam kilometer sebelah timur Blora. Dia asli orang Sunda. Tapi menikah dengan orang Blora. Tujuan dia ke Cepu sebenarnya diajak temannya lek-lekan. Saya curiga. Ah, mana mungkin diajak begadang seorang teman kok lengkap dengan peralatannya, kecapi dan seruling? Barangkali itu hanya cara Ujang menyampaikan dia mendapatkan job manggung. Menutupu kebaikan demi kebaikan, barangkali itu. Jawa sekali orang Sunda ini. Entah, saya tidak tahu bagaimana orang Sunda itu. Atau tersebab Sunda termasuk Pulau Jawa, alur berpikirnya serupa. Entah pula. Namun, bagaimanapun saya kagum dengan Ujang. Banyak orang Jawa lupa Jawanya, barangkali termasuk saya. Dan Ujang datang mengingatkan. “Saya muter ngamen mencari uang rokok sambil menghilangkan penat.” katanya. Sekalian pemanasan melemaskan jari ya, Mas. Saya berkelakar. Dia tertawa. Begitulah orang Jawa. Memilih untuk tidak menunjukkan dengan gamblang. Dia juga bercerita tentang Jawa itu sendiri. Orang Jawa itu jarang marah. Kalau marah pun, tidak begitu kentara. “Misal wong jowo ditabrak, dia akan bilang ‘kirang banter mas’ dengan halus.” Ujang punya selera humor.

Kelakar kerap kali muncul ketika Ujang bercerita. Bahkan ketika dia menembangkan lagu. Clemongan-clemongan yang mengundang tawa itu mengingatkan saya pada tokoh Sakum di Ronggeng Dukuh Paruk. Clemongan yang diceritakan Ahmad Tohari bisa menambah keriuhan. “Saya memang suka guyon, Mas.” akunya. Bahkan, katanya, dia pernah diundang datang oleh tokoh masyarakat hanya karena di sebuah acara obrolan santai sudah mulai memanas. Pemuda antardesa sudah mulai beradu mulut. “Ngademke, Mas.” tambahnya. Setelah dia datang, suasana kembali santai. Semua orang ngeklek. Terbahak-bahak. “Cuma seperti itu, mas. Tapi itulah yang membuat saya merasa berguna. Kulo bersyukur.” Pandangannya menerawang, tangannya mengapit rokok yang entah keberapa kala itu.

Beberapa lagu dia tembangkan, beberapa cerita dia kisahkan. Juga beberapa tawa yang melegak di sela-sela cerita-ceritanya. Ujang, pengamen kecapi yang menemani saya dan Otysta menghabiskan sore ini, namanya. Membuat saya ingin menuliskannya. Kekeliruan adalah saat kita mengatakan saya tak perlu menuliskannya, saya akan mengingatnya. Saya sepakat kalimat itu. Ingatan saya tak sebaik yang saya bayangkan. Saya butuh menulis untuk menegaskan apa-apa yang pernah saya alami, atau bahkan sekadar terlintas di kepala saya. Seperti cerita-cerita Ujang. Dia menegaskan kembali tentang apa-apa yang pernah saya dengar dan alami. Dan saya hanya bisa menggantinya dengan sedikit uang rokok.

Meski tak mampu saya tuliskan semua dan runtut. Ada beberapa yang terlupa. Ah, ternyata benar. Ingatan saya tak sebaik yang saya bayangkan. Namun, saya ingat. Sesaat sebelum beranjak, setelah Ujang menenteng kecapi-nya, dia berkata, “Kulo mlampah riyin, Mas.” Ujang pamit ingin berjalan kembali. Memang, hidup adalah melanjutkan perjalanan. Tujuan Ujang memang belum tercapai, tiba di rumah temannya untuk lek-lekan. “Dijak lek-lekan kanca, malah entuk kanca anyar.” Seutas senyum di wajahnya. “Monggo, Mas.” Dia melangkah. Monggo, mas. Jawab Otysta dan saya, bersamaan. Matur nuwun, Mas Ujang. Matur nuwun, Mang Ujang. Saya berterima kasih.nb :
Sebenarnya saya sempat merekam Ujang nembang melalui ponsel. Tapi berhubung saya belum pernah dan belum tahu cara mengunggah video, saya tunda untuk menautkannya. Semoga segera.

No Response to "Kecapi Ujang"

Posting Komentar